Kamis, 11 Desember 2008

Pentungnya Peran Guru Dalam KTSP dan UN

Sesungguhnya dalam setiap kelulusan harus mempunyai sebuah standar kelulusan, ini merupakan sebuah cara untuk mengetahui kualitas dari lulusannya. Pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan sebuah evaluator dalam mengetahuinya. Dan ini merupakan hal penting yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Walau untuk menuju kesana diperlukan sarana pendukungnya, namun alangkah baiknya ini jangan dijadikan alasan akan tetapi dibiarkan berjalan secara bersamaan. Kesemuanya guna melakukan percepatan dalam sebuah pendidikan. Dan yang terpenting adalah bagaimana Guru dan culture adalah kunci menuju peningkatan mutu pendidikan.
Saat ini Depdiknas dalam membuat aturan-aturan memang terkesan terlalu futuristic atau prospectif, dalam artian terkadang tidak melihat kondisi real di lapangan.
Namun demikian, Depdiknas juga sudah memberikan aturan-aturan pendukung untuk proses berjalannya aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sekarang tinggal bagaimana daerah dapat mensikapinya, karena aturan-aturan atau program yang dikeluarkan tentunya sudah berasal dari orang-orang ahli baik dalam dan luar negeri yang peduli dengan pendidikan di Indonesia.
Depdiknas juga mengetahui betul bahwa zaman desentralisasi ini peran dari Pemerintah Daerah adalah yang paling besar, sejauh mana mereka memberikan sumbangsih bagi pendidikannya. Dapat dibayangkan bahwa kenaikkan anggaran menjadi 20% dari APBN pada Departemen Pendidikan Nasional sebagian besar diperuntukkan untuk tunjangan Guru dan kenaikkan BOS.
Yang terjadi saat ini adalah Pemerintah Daerah yang kurang memperhatikan pendidikan, hal ini bisa dilihat dari anggaran Pendidikan, nasih sedikit yang mengalokasikan anggaran pendidikan sebanyak 20%, mereka lebih mementingkan factor lain. Ironisnya lagi mereka ternyata hanya mengharapkan bantuan dari Pusat saja khususnya untuk bidang pendidikan.
Kemudian masalah mental juga menjadi amat penting, dengan berbagai kecurangan yang hanya menginginkan tingkat kelulusan yang tinggi, membuat Guru menjadi seperti maling bukan seperti seorang Pendidik. Bila ia seorang Pendidik tentunya bukan cara seperti itu untuk meninggikan target kelulusan, atau jika memang protes juga bukan dengan cara seperti itu, dengan cara yang elegan dan holistic. Ini semua menunjukkan bahwa kemampuan dari Guru di Indonesia memang amat rendah.

Ujian Negara (1945-1969)
Ujian Negara dianggap unggul dalam mengendalikan standar mutu lulusan. Siswa yang lulus mutunya benar-benar bagus. Namun, pada era akhir 1960-an, banyak ahli pendidikan yang mengkritik bahwa kegiatan penilaian dan penentuan kelulusan siswa merupakan hak pedagogis guru. Alasannya, guru paling tahu materi yang diajarkan dan keragaman kemampuan siswa dalam menyerap bahan ajar.
Bahkan para ahli pendidikan saat itu juga menilai standar tinggi Ujian Negara hanya sah diberlakukan bila seluruh sarana dan prasarana sekolah sama atau memenuhi standar kelayakan minimal. Karena saat itu masih banyak sekolah yang amburadul, maka cukup banyak siswa dari sekolah ”kelas bawah” tidak lulus. Sehingga dapat dikatakan bahwa Ujian Negara tidak sejalan dengan rasa keadilan dalam pendidikan.

Ujian Sekolah (1970-1982)
Model penilaian Ujian Sekolah ini merupakan kebalikan total dari Ujian Negara. Penyelenggara ujian adalah sekolah, sehingga penentuan kelulusan sepenuhnya menjadi otoritas sekolah. Otoritas yang terlalu penuh kepada sekolah dengan tidak mengikutsertakan Pemerintah ternyata juga membuat terjadinya banyak ketimpangan-ketimpangan. Otonomi penuh sekolah dalam menyelenggarakan ujian akhir dan menentukan kelulusan, justru menjadikan sekolah seenaknya memberi nilai kepada siswa-siswanya. Sehinga siswa gampang sekali lulus, bahkan lulus 100%, akibat penilaian objektif ditinggalkan untuk menjaga nama sekolah. Sehingga dapat dibayangkan semakin runyamnya mutu kelulusan pada saat itu.
Kembali yang terjadi adalah maraknya kembali praktik penggelembungan (mark up) nilai ijazah. Nilai ijazah tinggi-tinggi, namun tidak mencerminkan mutu lulusan yang sesungguhnya. Guru dan murid seolah-olah tidak mempedulikan mutu dari pendidikan, semakin memblenya pembelajaran yang dilakukan karena mereka mengetahui betul hak otonom mereka dalam menentukan kelulusan, yang menimbulkan praktek-praktek yang semakin menghancurkan dunia pendidikan. Akibatnya masyarakat saat itu sangat risau melihat anjloknya mutu lulusan sekolah.

Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (1983-2002)
Model EBTANAS merupakan perpaduan antara Ujian Negara dan Ujian Nasional. Untuk Ujian Negaranya dimanifestasikan dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM), yang hanya terdiri dari beberapa pelajaran yang dujikan secara nasional, akan tetapi bukan sebagai penentu kelulusan namun hanya sebagai seleksi untuk melanjutkan sekolah pada jenjang selanjutnya. Sedangkan kelulusan sesungguhnya tetap ditentukan oleh sekolah karena nilai penentu kelulusan adalah gabungan NEM dan nilai catur wulan (cawu)/semester I dan II.
Model EBTANAS merupakan perpaduan dari sistem Ujian Negara dan Ujian Sekolah. Dengan kata lain, pemerintah dan sekolah sama-sama berperan dalam penyelenggaraan ujian akhir maupun penentuan kelulusan siswa. Mata pelajaran yang diujikan secara nasional ada enam sampai tujuh. Sisanya, berupa ujian sekolah. Hasil dari mata pelajaran yang diujikan secara nasional itu disebut Nilai Ebtanas Murni (NEM). NEM tidak menentukan kelulusan siswa. NEM hanya berguna untuk seleksi pada jenjang pendidikan di atasnya. Penentuan kelulusan tetap di tangan sekolah. Nilai akhir ijazah penentu kelulusan merupakan gabungan NEM dan nilai catur wulan (cawu)/semester I dan II. Permasalahannya adalah dalam rumus kelulusan, yang merupakan nilai rata-rata dari penjumlahan nilai cawu semester I, semester II dan NEM. Perbandingan kelulusan adalah 2 berbanding 1, pihak sekolah mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada NEM. Kembali yang terjadi adalah penggelembungan nilai dan praktek-praktek yang memuakkan hanya untuk menjadikan murid menjadi lulus dan menjaga nama sekolah tersebut. Malah ini menjadi semakin berbahaya karena nilai-nilai proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah semakin tidak objektif, padahal pakar pendidikan mementingkan proses ini.

UAN/UN (2003-sekarang).
Sistem Ujian Akhir Nasional (UAN), yang sejak tahun 2005 disempurnakan dan berganti nama menjadi UN. Sebagaimana EBTANAS, model UAN/UN ini prinsipnya juga memadukan sistem Ujian Negara dan Ujian Sekolah. Tetapi, di antara keduanya terdapat perbedaan sangat mendasar menyangkut penentuan kelulusan siswa. Pada sistem UAN/UN, nilai mata pelajaran yang diujikan secara nasional ikut menentukan kelulusan siswa, bukan lagi sebagai penyempurna seperti pada EBTANAS yang dapat diakali dengan nilai dari Guru untuk mendongkrak nilai akhir kelulusan. Sekolah tidak bisa main-main atau mengutak-atik nilai. Walaupun mereka mengatrol nilai cawu atau semester, tidak ada gunanya, karena nilai UN/UAN harus bisa terpenuhi terlebih dahulu. Pada sistem ini, fungsi penilaian sebagai pengendali mutu lulusan berhasil diterapkan.
Model UAN/UN yang ketat itu memaksa siswa, guru, dan sekolah bekerja keras untuk mencapai hasil terbaik. Namun, kembali praktik-praktik kotro dilakukan oleh pihak sekolah untuk dapat mengejar tuntutan nilai yang baik dari siswanya. Seperti melonggarkan pengawasan dalam pelaksanaan UN, atau bahkan membantu siswa dalam mengerjakan soal-soal UN. Berbagai faktor mempengaruhi mereka melakukan ini, salah satunya adalah tuntutan dari pimpinan mereka dan ancaman terhadap jabatan mereka, baik itu Kepala Sekolah maupun Kepala Dinasnya.
Nah, ketika ditelaah ternyata hal yang menyebabkan kegagalan dari berbagai system ini adalah karena moral Guru kita yang sudah hancur, bahkan moral bangsa kita yang sudah amat mundur. Semua kegagalan lebih kepada Guru yang tidak mempunyai nilai-nilai dan tujuan yang holistic dalam bekerja.
Adalah benar jika dikatakan untuk mencapai UAN/UN tersebut hendaknya terlebih dahulu memenuhi 8 standar pendidikan yang ada dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijabarkan dalam PP 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Dan Pemerintah sekarang sedang berupaya menuju kesana secara sistematis dan bertahap serta terukur.
Akan tetapi ditengah upaya kesana tetap harus ada pengontrolan terhadap lulusan, demi menjaga pendidikan itu sendiri serta mengembalikan moralitas pendidikan kepada setiap komponennya. Hal yang terpenting pada saat tersebut adalah sebuah pengawasan yang harus diperketat dan ada baiknya ini semua harus dibantu oleh masyarakat untuk turut serta.

KTSP
Seperti halnya dengan sejarah panjang Ujian Negara maka ini begitu juga terjadi dengan sejaraha kurikulum pada pendidikan di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwa KTSP ini merupakan era baru, dari kurikulum yang bersifat nasional menjadi kurikulum yang berbasiskan satuan pendidikan.
Harapan dari KTSP ini adalah akan lahir kurikulum-kurikulum berbasis lokal yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan dihasilkan oleh orang-orang lokal dengan mengacu kepada standar-standar nasional yang dibuat Pusat. Namun hal ini berimpilikasi kembali dengan kemampuan seorang Guru untuk membuat KTSP, seorang Guru harus mampu melakukan inovasi dalam membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhan murid dan sekolahnya tersebut.
Kurikulum ini juga merupakan salah satu hasil kurikulum lebih baik dibanding pendahulunya yang pernah di keluarkan Depdiknas, sekaligus kembali bersifat prospectif bila dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum yang lain. Sebagai contoh ketika kurikulum pertama kali dikeluarkan yaitu pada tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pembelajaran yang isinya lebih mementingkan kepentingan Belanda dibandingkan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1952 dan tahun 1964 pada masa orde lama yang masih belum sempurna kurikulumnya bahkan masih terkesan premature.
Terlebih lagi pada permulaan masa orde baru pada tahun 1968 yang kurikulumnya berisikan bagaimana menjadi seorang manusia Pancasila sejati. Lantas tetap di era Orde Baru pada tahun 1975 keluarnya kurikulum Prosedur Pengembangan Sistem Indtruksional (PPSI) yang lebih dikenal dengan Kurikulum berbasis satuan pelajaran, namun ini mendapatkan banyhak kritikan karena Guru disibukkan menuliskan rincian apa yang dikerjakan dalam setiap kegiatan pembelajaran.
Sedikit berbeda pada tahun 1984 keluar kurikulum yang berbasis process skill approach. Siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dari mulai pengamatan, pengelompokkan, diskusi hingga melaporkan atau sering disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dalam perjalanannya kurikulum ini juga tidak dapat direalisasikan seperti keinginan awalnya, karena seringkali terjadi banyak kesenjangan dan kurangnya pemahaman dari Sekolah. Guru yang tidak lagi melakukan metode ceramah kepada siswanya, namun belum bisa menguasai para siswanya dalam pembelajaran siswa aktif tersebut. Sehingga berujung kepada penolakkan dari model CBSA ini.
Lain lagi dengan kurikulum 1994 yang menggantikan kurikulum 1984 yang berupaya memadukan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang berupaya untuk mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dan 1984, sehingga menimbukan sebuah kurikulum yang super padat, karena semua aspek komponen baik lokal dan Pusat dimasukkan kedalam kurikulum tersebut.
Ketika kurikulum ini berjalan timbullah tragedi 1998, krisis ekonomi 1998 yang menjatuhkan Soeharto sekaligus menandakan berakhirnya Orde Baru. Yang juga melahirkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004. Jiwanya adalah setiap pelajaran diurai berdasarkan kompetensi apa yang mesti dicapai oleh siswa. Namun kerancuan muncul ketika akan mengukur kompetensi siswa, bila ini dilakukan maka tidak bisa lagi menggunakan alat ukur dengan menggunakan pilihan ganda akan tetapi tentunya menggunakan praktek yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Kembali hal ini terbentur pada kemampuan Gurunya yang tidak memahami masalah pengukuran ini, karena hasil yang tidak memuaskan program ini dihentikan pada tahun 2006. Yang kemudian dilanjutkan dengan KTSP tersebut.
Di era otonomi pendidikan ini, pemerintah menggulirkan kebijakan yang sama sekali berbeda di masa silam. Berakhirnya KBK ditandai pula dengan dicabutnya penerapan kurikulum nasional. Inilah era Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ditetapkan pada 23 mei 2006, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan.
KTSP menghendaki kurikulum disusun dan dikembangkan sendiri oleh sekolah. Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga yang tugasnya, antara lain membuat kurikulum, hanya memberikan kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional.
Pemerintah hanya membuat standar-standar nasional sedangkan isi kurikulum dibuat oleh Sekolah. Guru diberikan kebebasan mengembangkan indikator penilaian dan materi pokok sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan peserta didik. Disini kembali dituntut peran Guru yang amat besar untuk mampu melaksanakan kurikulum ini, bukan sekedar Guru yang hanya mencari nafkah dari pekerjaannya akan tetapi seorang Guru yang mengerti betul dengan filosofi pembelajaran dan menguasai betul secara mental untuk memberikan pengajaran kepada anak didiknya sebagai seorang manusia.
Sesungguhnya sosialisasi KTSP ini sudah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen PMPTK dengan berbagai cara dan kesempatan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan CD yang berisikan KTSP, Widya Iswara pada LPMP dan P4TK seringkali melakukan kunjungan ke daerah untuk mensosialisasikannya, menggunakan metode Master TOT, melalui asosiasi Guru yang ada dan lain sebagainya. Dan sebenarnya sudah cukup dirasakan oleh Guru-guru yang ada di seluruh Indonesia, minimal mereka mengetahuinya.
Dan salah satu upaya yang sekarng ini amat dinantikan adalah peran serta masyarakat melalui LSM-LSM untuk dapat mensosialisasikannya, tidak hanya bisa mengkritisi akan tetapi tidak memberikan solusi yang terbaik bagi anak bangsa ini.
Yang perlu menjadi catatan dengan KTSP ini adalah bukan hanya kepada sosialisasi akan tetapi kemampuan Guru untuk dapat mengembangkan kurikulum ini, karena kurikulum ini betul-betul membuthkan Guru yang capable dan mampu melakukan analisis-analisis untuk menghasilkan kurikulum terbaik bagi siswanya.
Peran Guru
Bila dilihat dari data guru kemungkinan profesi yang terbanyak dibanding profesi lain. Tercatat tak kurang dari 2.783.321 guru, dengan perincian 1.528.472 adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan sisanya, 1.254. 849 guru swasta. Sayangnya, guru hanya unggul jumlah, sementara dari sisi kualitas baik dari kompetensi dan kualifikasi, masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Dari sisi kualifikasi ternyata hanya sebagian saja yang lulus S1, belum lagi banyaknya Guru yang mengajar missmatch, kesemua ini tentunya hanya akan membuat anak didik di Indonesia akan menjadi semakin mundur.
Hal yang sering terlupakan adalah bahwa dalam pembelajaran itu sarana dan prasarana bukan merupakan sebuah factor yang paling penting, akan tetapi yang paling penting itu selain kualitas dan kompetensi adalah Mental Guru. Dahulu Guru begitu dihormati oleh masayarakat, mereka dianggap sebagai tokoh dalam komunitasnya. Namun kini semuanya semakin sirna karena berbagai tingkah laku Guru yang membuat muridnya menjadi tertawa. Seperti pepatah mengatakan ‘Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari’.
Bila seorang Guru mempunyai kemampuan dan mengerti metoda pendidikan ia akan dapat memberikan sebuah pengajaran yang luar biasa. Sebuah film yang diangkat dari Novel spektakuler ‘Lasyar Pelangi” telah mencoba menunjukkan hal tersebut. Bahwa mengajarkan seseorang itu tidak perlu terikat dengan kurikulum atau lengkapnya sarana dan prasarana, namun bagaimana mengajar seorang anak didik itu dari hati, bagaimana mengajar seorang anak didik itu sesuai dengan bakatnya dan melihatnya sebagai sebuah kepribadian yang unik yang diciptakan oleh Allah SWT.
Sebagai contoh, ketika zaman dahulu kita menulis dengan batu tulis, dimana ketika itu setelah ditulis kita harus langsung menghapusnya. Sedangkan sekarang ini begitu murah buku dan alat tulis untuk dibeli namun tetap saja mutu pendidikan kita tidak menjadi lebih baik.
Guru kita sekarang tidak mampu memberikan inspirasi kepada anak didiknya. Sehingga saat ini lulusan dari Perguruan Tinggi ternyata lebih banyak menjadi ‘Penyemir Sepatu’ dari lulusan SD yang mempunyai keberanian untuk terjun dalam dunia kewirausahaan. Lulusan PT tidak mempunyai keberanian untuk menantang untung dan rugi, menantang hidup yang tidak tetap, menantang hidup yang tidak pasti, walau ternyat dengan ketekunan dunia itu tidak pernah membuat orangnya kelaparan dengan sebenar-benarnya.
UU Guru dan Dosen telah jadi, seorang Guru disinyalir akan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk hidupnya. Namun untuk mendapatkannya seorang Guru diharuskan mengikut uji sertifikasi dan fortopolio, lagi-lagi yang terjadi sungguh membuat mengerti kenapa pendidikan kita tidak maju. Guru mulai bermain-main dengan fortopolio, mulai membajak hasil diklat dan seminar temannya, mulai mencari ijazah palsu. Inilah mental kebanyakan Guru kita sekarang ini.
Bukannya kurikulum atau sarana dan prasarana itu tidak penting, namun itu semua menjadi tidak berguna apabila Guru kita mentalnya masih belum berubah, tidak mempunyai jiwa seorang pendidikan akan tetapi lebih kepada jiwa pedagang atau bahkan menjadi seorang birokrasi. Seperti halnya dengan KKN, selama mental para Birokrasi tida berubah sebesar apapun gaji yang diberikan tidak akan pernah cukup, KKN itu akan terus terjadi.
Hal ini mungkin terjadi karena dampak dari zaman sentralisasi di orde baru yang menyebabkan selama puluhan tahun Guru hanya dituntut untuk melaksanakan kurikulum yang telah dikeluarkan sesuai dengan kebijakan dan keinginan Pusat, sehingga menghilangkan jiwa kritis dari Guru tersebut. Bila seorang Guru seperti itu tentu dapat terbayangkan bagaimana muridnya, yang akhir lebih pintar untuk menghapal bukan melakukan inovasi-inovasi pemikiran.
Ini pulalah yang menyebabkan Depdiknas tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan UAN/UN, untuk memberikan sebuah pancingan atau stimulant terhadap pendidikan di Indonesia, sekaligus menjaga mutu dari mutu pendidikan kita, menggerakan jiwa sebagai pendidik dari Guru, menggugah masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan, menggugah Pemerintah Daerah untuk memperhatikan pendidikan didaerah dan lain sebagainya. Bahkan untuk menjaganya Pemerintah juga kerap berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Guru, memenuhi standar pendidikan pada satuan pendidikan, membantu dengan BOS, menetapkan Standar-standar Pendidikan, mengeluarkan UU yang pro kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dsb…dsb.

KKN Raja-Raja Kecil
Untuk saat ini permasalahan KKN ternyata sudah menyebar kepada tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, bahkan seringkali dikatakan bahwa melakukan korupsi dengan berjamaah.
Untuk Pemerintah Pusat saat ini melakukan KKN merupakan hal yang teramat sulit, karena sudah banyak institusi pemerintah seperti KPK, Itjen dan BPK yang mengawasi. Selain itu LSM-LSM juga selalu dibelakang gerak-gerik Pemerintah untuk mengawasasi setiap kegiatan yang dilaksanakan, demikian juga pada Depdiknas.
Sedangkan di Kabupaten/Kota terlebih lagi di daerah yang terpencil pengawasan ini dirasakan masih amat kurang, sehingga Guru atau Kepala Sekolah menjadi gelap mata dan melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan hasil UN yang di mark up atau tuntutan dari Pejabatnya.
Bila ini dibahas, tentunya yang salah adalah kultur mereka, bukan kepada kurikulum yang diberikan. Ketika kita mengatakan ini adalah konsep yang baik bukan berarti karena ketidakmampuan kita kemudian kita memanipulasi konsep tersebut hanya untuk kepentingan kita. Ini adalah catatan penting.
Hal yang diharapkan dari Daerah adalah memberikan dukungan kepada kurikulum ini dengan ikut mempersiapkan alat-alat pendukung lainnya, karena ini merupakan kepentingan mereka sendiri, bagi putra-putra daerah mereka sendiri. Yang disesalkan adalah Pendidikan masih bukan barang yang penting di Daerah.

Kesimpulan
Pendidikan yang bermutu itu harus mempunyai sebuah control untuk dapat mengevaluasinya, sekaligus sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan program di masa yang akan datang.
UN/UAN merupakan salah satu alat pengontrol yang mau tidak mau harus dilaksanakan guna dapat memberikan penilaian terhadap kemampuan dasar dari lulusannya secara umum. Walau ada beberapa kejadian yang bersifat kasusistik akibat UN ini, akan tetapi tidak bisa dijadikan patokan karena harus ada alat control yang jelas terhadap siswa.
Permasalahan pemenuhan sarana dan alat pendukung pendidikan terlebih dahulu sebelum UN/UAN merupakan alasan yang sah-sah saja, namun ini bukan menjadi permsalahan yang mendasar dalam dunia pendidikan. Karena untuk alat-alat pendukung yang berupa sarana dan prasarana atau alat dukung lainnya dapat dipenuhi bila antara Pusat dan Daerah melakukan sinergi untuk memenuhinya. Selama ini Pemerintah daerah terkesan kurang memenuhi anggaran 20% untuk pendidikan serta belum adanya sinergi dengan Pusat dalam program pendidikannya.
Yang terpenting bila dikatakan untuk mendukung pendidikan memang dibutuhkan sarana dan alat pendukung adalah betul, namun hal itu bukanlah yang utama, karena hal yang paling utama adalah Guru dan Mental Bangsa ini. Guru sebagai orang yang bisa digugu harus mempunyai nilai-nilai idealis dan holistic dalam pekerjaannya, tidak terjebak kepada praktek-praktek yang merendahkan profesi terhormat Guru tersebut. Peningkatan kompetensi dan kualifikasi Guru adalah hal yang sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pengetatan profesi Guru juga harus dilakukan guna menjaga kewibawaan seorang Guru, tidak ada lagi Guru yang diangkat dengan sembarangan, tidak ada lagi Guru yang tidak bisa diukur kompetensinya dan bahkan diperlukan sebuah sertifikasi yang mempunyai batas waktu untuk kemudian diuji kembali.
Begitu juga dengan mental bangsa ini, ketika UN menjadi momok bagi mereka, mereka berusaha mengakalinya dengan berbagai cara sehingga menghilangkan nilai-nilai holistic dalam pendidikan. Pengawasan yang dilakukan tidak hanya oleh Pemerintah akan tetapi masyarakat sudah harus mulai ikut mengawasinya, karena yang menjadi korban adalah mereka atau anak mereka, serta belajar bagaimana menerima ketidakpuasan dari hasil UN/UAN untuk menjadi cambuk dimasa yang akan datang bagi anak-anak mereka kelak.

Selanjutnya dialog dengan Wak Ringga:

Ulasan anda:
Saya adalah salah seorang yang menolak Ujian Nasional (UN), karena UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Karena alangkah tidak adil dan sangat tidak masuk akal menentukan kelulusan siswa yang telah menempuh pendidikan selama 3 tahun (SMP dan SMA) dan 6 tahun (SD) hanya dari ujian yang dilakukan selama 3 hari saja! Sementara proses belajarnya sendiri diabaikan! Padahal mutu pendidikan tidak bisa dinilai hanya dari hasil UN, atau dengan menaikkan standar kelulusan setiap tahunnya. Bukan itu bung, kalau pemerintah mau fair, nilailah pendidikan itu mulai dari proses awal hingga akhir, selama siswa mengikuti KBM (kegiatan belajar mengajar) hingga Ujian Akhirnya!

Jawaban saya:
Ini merupakan sebuah dilemma, ketika dikatakan bahwa mutu pendidikan tidak bisa dilihat dari nilai UN, lantas apa factor controlnya ? Bila selama 3 tahun mereka melakukan pembelajran akan tetapi tidak berhasil menjawab soal-soal dasar, apakah mereka layak diluluskan ? Dalam pembelajaran tetap harus ada kontrolnya.
Saya juga hanya bisa katakana kepada anda bagaimana tidak adilnya sekarang ini setelah kuliah selama 5 tahun, ternyata kemudian diharuskan mempunyai sebuah sertifikasi untuk bekerja, ironisnya sertifikasi tersebut kemudian harus diulang kembali pada masa tertentu. Bila pemikiran anda ini diteruskan maka tentunya anda akan berkata bahwa tidak ada gunanya bersekolah selama 5 tahun teryata untuk mendapatkan sebuah pekerjaan harus bisa lulus sertifikasi berupa selembar kertas.
Namun, ada juga yang bersifat kasuistik ketika pemenang Olimpiade Matetmatika ternyata tidak lulus UAN karena ia memang tidak menyukai salah satu dari pelajaran yang di UANkan, walau demikian ia berhasil masuk ke ITB untuk melanjutkan sekolahnya. Tapi ingat ini adalah kasus kasuistik.
Kemudian dalam berbagai diskusi kemudian mencoba mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa UAN hanya bisa dijadikan alat control saja akan tetapi tidak berperan dalam nilai kelulusan seorang siswa, jika ini terjadi lantas apa gunakan UAN sebagai alat control karena sudah barang tentu siswa kita akan semakin malas tidak ada sebuah punishment dalam pengontrolannya atau sepertinya hanya ecek-ecek saja.

Ulasan anda:
Sdr Kosasih mengatakan bahwa “….Perlu diingat bagi Pemerintah UN ini sebenarnya adalah upaya untuk megetahui kemampuan dasar dari peserta didik bukan sebagai factor satu-satunya yang menjadikan kelulusan dari siswa. Anda sebagai orang DIKNAS sangat salah membuat pernyataan seperti ini, bertolak belakang dengan kebijakan DIKNAS tentang UN. Karena kenyataannya, Diknas tutup kuping terhadap keberatan yang diajukan oleh DPR, LSM dan masyarakat tentang UN. Bahkan siswa SD sekalipun tahu bahwa UN adalah penentu satu-satunya kelulusan!

Jawaban saya:
Saya mengatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu nilai ujian karena nilai kegiatan belajar mengajar siswa tetap diperhitungkan. Namun memang benar bahwa untuk lulus harus memenuhi nilai kelulusan dari UN terlebih dahulu.
Ulasan anda:
Itulah sebabnya DR. Arif Rahman, sang pakar pendidikan, pun menolak keras UN karena menilai, pemerintah melalui UN telah merampok hak guru untuk menentukan lulus/tidaknya siswa. Karena gurulah yang paling mengetahui apakah siswa2nya layak untuk diluluskan atau tidak.
Sementara itu, KTSP memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun suatu konsep KBM, model kurikulum yang disesuaikan dengan ciri khas daerah masing2. Sangat bagus memang idenya. Sejak penerapan KBK dilanjutkan oleh KTSP, penilaian terhadap siswa mulai dilakukan dengan lebih “manusiawi”. Siswa dinilai meliputi kecakapan kognitif, kecakapan apektif dan psikomotor. Ketiga2nya merupakan satu kesatuan penilaian yang saling menunjang dan menelengkapi. Misalnya, siswa yang kurang menonjol kemampuan kognitifnya tapi rajin, menunjukkan keseriusan dalam mengikuti pelajaran dan berbudi pekerti baik akan mendapatkan nilai yang baik pada kemampuan apektif dan psikomotornya, begitu seterusnya. Jadi kemampuan siswa tidak hanya dilihat dan dinilai dari satu sisi saja, tapi seutuhnya.
Nah, penilaian atau evaluasi ini tentu saja sudah selayaknya dilakukan oleh pihak sekolah, dalam hal ini guru, mulai dari ujian blok, hingga ujian akhir, dari tahap awal hingga tahap akhir dengan tetap mengacu kepada aturan yang telah diberikan oleh pemerintah dan KTSP yang telah disusun. Guru tentu saja akan memberi nilai dari segala aspek akan kemampuan siswanya. Gurulah yang selama 3 atau 6 tahun berinteraksi langsung dengan siswanya. Sekolah pun sekaligus melakukan evaluasi diri terhadap model kurikulum yang diterapkan.

Jawaban saya:
Ini sebenarnya sudah terjadi pada Ujian Sekolah pada tahun1970 – 1982, namun itu semua tidak sesuai dengan harapan karena kemudian seorang Guru bertindak dengan seenaknya asalkan murid mereka lulus. Bung Wak Ringga hal yang perlu diingat bahwa Guru itu manusia juga, terlebih lagi Guru sekarang yang kurang mempunyai jiwa pendidikan yang diharapkan. Tetap harus ada sebuah control untuk kelulusan seorang siswa, Bung. Ada yang menarik disini bila yang melakukan sebuah pekerjaan juga sebagai pengontrol atau evaluator tentunya yang terjadi adalah sebuah bentuk dari kedzoliman. Ketika saya seorang Pemerintahan yang melakukan kegiatan Pemerintahan, maka bukan saya yang menilainya atau mengontrolnya ada sebuah badan Legislatif atau Badan Hukum, hingga tidak terjadi yang seringkali dinamakan orang dengan ‘Jeruk makan Jeruk’.

Ulasan anda:
Lalu bagaimana penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap siswa kita melalui UN? Apakah bisa menilai segala aspek kemampuan siswa? Jawabannya adalah TIDAK! Hanya kemampuan kognitifnya saja yang dihargai dan diberi nilai!

Jawaban saya:
Dalam pemikiran Pemerintah saat ini adalah bagaimana memberikan pengontrolan kepada lulusannya sesuai dengan standar yang paling dasar dari siswa-siswanya.

Ulasan anda:
Pertanyaan berikutnya, adilkah UN bagi siswa2 yang kebetulan kemampuan kognitifnya lemah tapi rajin dan berakhlak bagus dan kebetulan pula tidak lulus UN? Bukankah pemerintah melalui Diknas telah bertindak arogan merampok hak2 sekolah/guru yang akan memberikan penilaian yang layak dan adil bagi peserta didiknya! Padahal tujuan pendidikan adalah membentuk siswa yang berkepribadian yang luhur?

Jawaban saya:
Untuk yang satu ini saya agak kesulitan dalam menjawabnya, ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui. Ada perbedaan selama ini dalam menanggapi persoalan ini mengenai siswa yang berbudi luhur tanggung jawab siapa, kemudian bila dia bodoh lantas dia berakhlak mulia apakah dia layak untuk tidak diluluskan.
Kembali saya teringat denagn cerita Lasykar Pelangi, dimana ada seorang anak yang secara kognitif lemah, pernah menjadi bahan tertawaan orang lain karena pada EBTANAS dia mengisi jawaban pada soalnya dengan menggambar seekor anjing. Perlu diingat dia adalah sosok yang baik walaupun mempunyai kecerdasan yang amat kurang. Nah, untuk mensiasatinya Ibu Gurunya memberikan rapor khusus serta ujian khusus.
Maksud saya menceritakan ini adalah kemungkinan perlu dipikirkan untuk dapat memilah-milah siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan rendah untuk nilai rapornya, atau jika memang perlu dilokalkan sendiri. Walau ini juga nantinya akan dikatakan sebuah ketidakadilan terhadap siswa yang berbudi luhur tapi dengan kemampuan yang rendah.
Sehingga kita bisa berpikir jernih mana yang bersifat kasuistik atau mana yang memang harus distandarkan secara nasional. Ini penting sehingga mutu pendidikan kita dapat ditingkatkan dengan lebih baik lagi ke depannya.

Ulasan anda:
Satu hal lagi, UN sudah dipolitisasi. Pertaruhan jabatan. Sederhananya begini, Kakanwin Dinas Pendidikan se Indonesia dikumpulkan oleh Mendiknas, diberi pengarahan bahwa UN harus SUKSES. Setelah pulang ke daerah masing2 Kakanwil memanggil semua Ka Dinas Pendidikan Kota/Kab, menyampaikan pesan Mendiknas, UN harus SUKSES. Ka Dinas Pendidikan Kota/Kab memanggil semua Kepsek yang ada di wilayahnya masing2 untuk menyampaikan pesan mendiknas, UN harus SUKSES. Tentu saja semuanya ada “penekanan” dengan kata SUKSES. Harus lulus 100%, kalau perlu!
Saya sendiri pernah mengalami, pernah mengikuti rapat dinas dengan Kasi Kurikulum dan Kasi Dikmenum Kota Bogor untuk membahas “strategi” menghadapi UN dan pesan yang disampaikan mulai dari Kanwil Dinas Pendidikan Jabar hinga Dinas Pendidikan Kota, agar “UN KUDU DISUKSESKEN, LAMUN BISA MAH LULUS 100%, SOK WAE ATUH BAPAK IBU DIATUR KUMAHA BAGEUR NA...". Hebat! Apakah ini hanya terjadi di Bogor saja? Tentu saja tidak! Itulah sebabnya akhirnya terjadi kecurangan pelaksanaan UN. Jabatatan coy, jadi taruhannya.

Jawaban saya:
Ketika anda mengatakan ini sekaligus anda memberitahukan kebobrokan mental dari tempat instansi anda bekerja. Seseorang yang mempunyai jiwa pendidik tidak akan pernah melakukan hal bodoh ini sesulit apapun permasalahan yang dihadapinya. Inilah yang saya katakana dengan mental dari pendidik dan pejabat kita, tidak mau mengakui adanya kelemahan pada dirinya. Tidak mau mengakui atau belajar bagaimana menghadapinya dengan benar.

Ulasan anda:
Sepertinya Pemerintah kita sangat hobi menggelontorkan berbagai macam kebijakan yang katanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tapi kenyataannya hanyalah membuat kerepotan para pelaksana di lapangan karena minimya pendampingan oleh Diknas dan jajarannya. Beban guru ditambah tapi kesejahteraan, sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru, terutama untuk menunjang semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah, sangat minim.

Jawaban saya:
Begitu juga dengan kompetensi Guru yang amat minim perlu dipikirkan, ini bisa dilihat dari kemampuannya menulis yang rendah hingga mereka kebanyakan terhenti dari golingan IV/a ke IV/b, karena membutuhkan karya tulis menuju kesana. Begitu juga dengan mental Guru yang begitu rendah, adanya sertifikasi Guru melalui fortopolio dan uji kompetensi hanya membuat mereka berlomba-lomba mencari ijazah palsu, sertifikat palsu, dsb. Atau ketika kita mendengar Guru Bantu berteriak-teriak agar diangkat tanpa mau intropeksi diri kemampuan di asebagai seoragn Guru.
Melihat ini semua, ini yang saya katakana agar peran serta masyarakat harus lebih aktif lagi, karena kita menyerahkan anak-anak kita kepada Guru-guru tersebut.

Berijin.

Kamis, 04 Desember 2008

Lasykar Pelangi

Sebuah adaptasi sinema dari novel fenomenal LASKAR PELANGI karya Andrea Hirata, yang mengambil setting di akhir tahun 70-an di Provinsi Bangka Belitung, tepatnya di Desa Ganton, Belitong dapat dikatakan sebuah film pendidikan yang mampu menggetarkan jiwa-jiwa mereka yang peduli dengan pendidikan bahwa ternyata masih banyak di daerah Indonesia yang begitu tertinggal untuk bidang pendidikan.

Film ini diawali dengan gambaran bagaimana hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong untuk mencapai 10 murid yang terdaftar, yang apabila tidak dicapai jumlah ini maka sekolah akan ditutup. Uniknya lagi pelengkap dari ke 10 murid adalah seorang anak yang mohon maaf retardesimental, keterbelakangan mental. Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.
Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa selama 5 tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka. Salah satunya adalah mereka berhasil menjuarai Cerdas Cermat dan Lomba Kreatifitas Seni di daerah tersebut dengan segala keterbatasan mereka.

Yang menarik dalam film ini adalah ketika Lintang harus berhenti beberapa saat ketika ia ingin pergi ke sekolah menunggu lewatnya seekor buaya pada jalan yang dilaluinya. Ini semakin terlihat ketika Lintang harus menghadiri perlombaan cerdas cermat mewakili sekolahnya ia hampir saja terlambat karena ternyata buayanya berjemur dijalan tersebut sampat akhirnya datang seorang pawang yang mengusir buaya tersebut dari jalan. Karakteristik seorang Lintang ini semakin mengental ketika ia harus berhenti sekolah karena ayahnya mati, sebagai seorang yatim piatu ia harus bertanggung jawab kepada ketiga adik-adiknya. Disini terlihat bagaimana seorang anak manusia lebih memilih berkorban untuk kepetingan keluarganya karena situasi yang memang membuatnya harus memilih. Padahal saat itu Lintang sudah menjadi orang terpilih dengan kecerdasannya pada pelajaran matematika, yang sudah tersosialisasi pada acara cerdas cermat yang dimenangkan Sekolah Muhammadiyah.
Selain itu, yang menarik lagi dalam film ini adalah bagaimana seorang Ikal dengan bermodalkan mimpi dan inspirasi dari sahabatnya Lintang serta wanita keturunan tionghoa idamannya ia bisa belajar ditempat yang ia impikan untuk dapat mengunjunginya, Paris, bahkan bisa mengelilingi Eropa. Ikal adalah seorang karakteristik orang yang ketika ia sudah menginginkan sesuatu atau memimpikan sesuatu ia akan merupaya mengejarnya dengan seluruh daya upayanya. Ini bisa terlihat ketika ia jatuh cinta dengan seorang wanita keturunan Tionghoa ia begitu berupaya mengejarnya dengan segala upaya, bahkan dalam film ini dikisahkan sedikit kisah romantika mereka begitu segar, hangat dan menyentuh.

Disini juga digambarkan Guru-guru yang begitu mencintai anak-anak didik mereka, bagaimana mereka mengajarkan mereka berdasarkan hati mereka, keyakinan mereka, dan karena panggilan jiwa mereka walau mereka tidak mendapatkan materi yang banyak atau bagi mereka materi bukanlah segala-segalanya. Hal-hal inisesungguhnya yang saat ini terlupakan oleh Guru-guru sekarang, bahwa anak didik itu bukan sebuah barang akan tetapi sebuah jiwa yang harus di didik dengan segenap jiwa juga, bukan hanya sekedar kurikulum atau teori pembelajaran lainnya yang tidak menggunakan sebuah konsep mengerti tentang keunikan dari masing-masing individu seorang manusia. Saat ini, terlihat berbondong-bondongnya seorang Guru untuk mendapatkan sertifikasi bukan karena mereka menginginkan sebuah kompetensi atau kehalian akan tetapi lebih karena tertarik dengan tunjangan-tunjangan yang akan mereka dapatkan sehingga diantara guru ada yang melakukan berbagai cara tanpa mempedulikan salah dan benar.
Dalam film ini mengingatkan kita kembali bagaimana kondisi dunia pendidikan kita yang saat ini belum betul-betul sempurna, begitu banyak konsep yang dikeluarkan, begitu banyak program yang dilaksanakan, tapi tampaknya belum mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh ketika BOS diluncurkan diharapkan akan dapat memberikan pendidikan gratis, namun yang terjadi adalah masih banyak bayaran-bayaran yang dimintakan kepada anak didik dengan berbagai alasan dan cara. Ketika ada peraturan yang mengatakan bahwa setiap anak didik tidak diperkenankan membeli buku dari sekolah, namun kenyataannya masih banyak yang bermain antara pihak sekolah dan buku demi mendapatkan beberapa sen pembagian komisi. Atau ketika kita mengatakan bahwa banyak anak bangsa kita yang cerdas akan tetapi hanya sebagian kecil saja, walau kita bangga tapi kita kecewa dengan daya saing anak-anak kita yang pada umumnya rendah.Film ini dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran, dan kisah perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia itu.

Dengan menonton film ini kita akan tersadar bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan pendidikan yang bermutu, tidak menjadi jaminan bahwa pendidikan bermutu lengkap sarana dan prasarananya, guru-guru terkadang melupakan bahwa anak didik mereka adalah seorang jiwa bukan barang sehingga diperlukan pendekatan kejiwaan untuk mendidik mereka, kemiskinan adalah penyebab hilangya kesempatan orang-orang yang berpotensi untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan terakhir adalah bahwa Tuhan telah menciptakan akal yang sama pada manusia tanpa membeda-bedakan suku bangsanya, sudah seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Dilema Perkembangan Pendidik PAUD di Indonesia

“The Golden Age” atau “Usia Masa Emas” seorang manusia ketika ia berumur 0 – 6 tahun berdasarkan UU Sisdiknas Tahun 2003 atau 0 – 8 tahun berdasarkan dunia internasional. Sungguh masa penting ini tidak dapat tergantikan lagi apabila sudah terlewati, karena masa ini disebut dengan masa mempersiapkan segenap potensi fisik, akan maupun mental yang ada pada seorang manusia dengan sebaik-baiknya dan menghargai setiap keunikan per individu dari setiap insan.

PENDAHULUAN
Tahun 2005 UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terendah di ASEAN, baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Dan kesemunya ini semakin tampak dengan Human Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut. Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara yang terdiskripsikan dalam HDI.
Sedangkan Depdiknas dalam buku Pembangunan Pendidikan Nasional tahun 2007 menggambarkan bahwa Pemerintah telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang awalnya pada tahun 2004 adalah 39,09% maka pada tahun 2006 sudah mencapai 45,63% dengan target capaian pada tahun 2007 sebesar 48,07%, sudah barang tentu ini merupakan sebuah hal yang menggembirakan bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Kemudian disebutkan bahwa agenda-agenda yang akan dicapai pada tahun 2009 seperti pencapaian APK PAUD usia 2 – 6 tahun sebesar Akan tetapi perlu dikritisi untuk pencapaian 53,90% atau sekitar 10,05 juta orang kualitas dari layanan yang diberikan, bukan kepada kuantitas. Ini menjadi amat penting karena begitu dasarnya PAUD itu bagi seorang manusia dalam kehidupannya yang akan datang.
Pemerintah pada tahun 2001 telah mendirikan Direktorat khusus bagi PAUD yaitu Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia dibawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (sekarang disebut Ditjen PNFI), Direktorat yang bertugas untuk melayani PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Ini disebabkan karena sebelumnya untuk layanan yang diberikan kepada anak usia dini baru pada usia 4 – 6 tahun melalui pendidikan formal yaitu TK, sedangkan melalui jalur pendidikan nonformal dan informal msih belum ada. Pendidikan formal pada tahun 2000 hanya mampu menyerap 12,65% dari total usia tersebut dengan Guru TK hanya sebanyak 95.000 orang untuk memberikan pelayanan 1,6 juta anak usia dini. Sedangkan untuk sisa 0 – 4 tahun masih belum terlayani, oleh karena itu maka Pemerintah berinisiatif untuk mendirikan Direktorat PADU (saat ini disebut Dit. PAUD) yang bertugas untuk melayani anak usian dini yang berumur 0 – 4 tahun.
Perlu diingat, setiap anak itu mempunyai potensi yang unik ketika ia lahir di muka bumi ini, baik secara fisik (jasmani) maupun non fisik (akal, hati dan lain sebagainya), dan dari itu semua sesungguhnya kuncinya ketika anak tersebut berumur 0 – 6 tahun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28. Bahkan dalam pasal tersebut juga dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu: pertama, pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Kedua, pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan. Ketiga, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapar membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik). Dan keempat, pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Untuk bidang SDM dalam pengembangan PAUD ini dijabarkan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 yang menjelaskan bahwa standar minimal bagi Pendidik PAUD adalah D-IV atau Sarjana dengan latar belakang pendidikan PAUD, psikologi atau pendidikan lainnya yang telah bersertifikasi profesi guru untuk PAUD. Yang kesemuanya merupakan bentuk perhatian Pemerintah betapa pentingnya PAUD bagi bangsa ini.

PEMBAHASAN
PAUD Kunci Pembangunan Insan
Dalam rangka untuk dapat memberikan hal yang terbaik bagi anak bangsa saat fase pertumbuhan seorang manusia ketika berumur 0 – 6 tahun, menjadi teramat penting bagi setiap insan yang sering kali disebut dengan “masa emas” atau “the golden age”, masa tersebut seorang anak harus dipersiapkan “wadah” yang mampu untuk menampung setiap materi, ilmu atau pemikiran dengan mumpuni baik secara jasmani, mental maupun pikirannya dengan semaksimal mungkin untuk menghadapi setiap persoalannya di masa yang akan datang dalam hidupnya kelak.
Menurut hasil penelitian neuroscience menunjukkan bahwa kehidupan intelektual bersumber dari otak manusia. Oleh karena itu bila kita mengatakan bahwa ekspresi dan bentuk prilaku merupakan cerminan dari seseorang maka perkembangan otak pada masa emas tersebut harus betul-betul diperhatikan.
Dalam sebuah penelitian, Bloom mengatakan bahwa pengembangan intelektual seorang anak sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50%, variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi sejak anak berumur 4 tahun, peningkatan mutu 30% selanjutnya terjadi masa usia 4 – 8 tahun dan sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua atau ketika usia 8 – 15 tahun. Bloom juga mengatakan bahwa umur 0 – 4 tahun merupakan masa-masa penting pertama terhadap kaya miskinnya lingkungan sekitar yang menstimulasi perkembangan intelektuak masnusia. Bahkan selbih jauh ia menjelaskan bahwa ini berpengaruh pada perkembangan IQ dengan perbandingan bahwa lingkungan dengan stimulasi yang kaya akan menambah 10 unit IQ dari pada yang miskin ketika berumur 0 – 4 tahun., kemudian sekitar 6 unit IQ ketika berumur 4 – 8 tahun.
Salah seorang ahli Carla Shaz mengatakan bahwa masa kritis pengembangan tumbuh kembang anak mencakup 5 (lima) hal, yaitu: pertama¸pengembangan penglihatan ketika berumur empat tahun pertama. Kedua, pengembangan perasan emosi sejak umur 2 (dua) bulan sampai mulai berkembang perasaan stress, kepuasan, girang dan sedih. Sedangkan perasaan iri dan empati baru berkembang pada usia 3 (tiga) tahun. Pada masa-masa ini pengasuhan yang penuh kasih sayang, pemenuhan nutrisi dan perawatan kesehatan merupakan persyaratan mutlak bagi pertumbuhan emosi anak. Dan perlu diingat bahwa pada masa ini juga setiap setiap peristiwa yang tidak mengenakkan atau traumatik akan berpengaruh pada keseimbangan emosi yang kemudian berhubungan dengan perkembangan kecerdasan dan empati. Ketiga, perkembangan kemampauan bahasa, sudah dimulai sejak dalam kandungan, ketika berumur 1 (satu) tahun sudah terbentuk “peta perseptual” untuk dapat mengetahui perbedaan suara atau fonem yang diucapkan dan perkembangan ini ditentukan dengan seberapa banyak anak diajak bicara atau mendengarkan. Keempat, kemampuan gerak anak, masa kritis pengembangan gerakan berlangsung sejak lahir sampai umur 2 tahun, sedangkan masa perkembangan motorik kasar berlangsung hingga berumur 4 tahun. Kelima, perkembangan kemampuan musik, masa kritis pengembangan musik ketika berumur 3 s.d. 10 tahun, hasil penelitian Mozart membuktikan bahwa rangsangan musik sejak dini akan membina pengembangan di bidang visiospatial, matematika dan logika.
Dari beberapa penelitian para ahli ini sudah dapat diketahui betapa pentingnya PAUD bagi setiap orang yang dilahirkan di muka bumi ini, padahal masih banyak penelitian-penelitian para ahli lainnya baik dari sisi gizi, psikologi, dan lain sebagainya yang belum disosialisasikan. Semuanya semakin terlihat ketika diketahui bahwa ternyata HDI Indonesia masih dibawah negara-negara lain yang sudah berhasil dengan lebih baik memberikan layanan PAUD.

Dilema Perkembangan PAUD di Indonesia

Namun, menjamurnya pendidikan anak usia dini melalui pendidikan nonformal mengakibatkan tidak terkontrolnya penanganan terhadap anak-anak usia dini dengan baik, padahal masa emas tersebut merupakan masa-masa yang teramat penting dan tidak dapat datang untuk yang kedua kalinya dalam pembentukan otak, fisik dan jiwa seorang anak.
Hal ini menjadi semakin buruk lagi karena perubahan kebudayaan atau kebiasaan hidup ketika zaman kakek-kakek kita dahulu yang lebih mementingkan kebersamaan dalam sebuah komunitas, sehingga tumbuh kembang anak menjadi baik dengan sendirinya oleh berbagai rangsangan ketika mereka berinteraksi dengan komunitasnya untuk dapat memberikan rasa kasih sayang seutuhnya. Saat ini budaya kita lebih cenderung menjadi individualistik, terbukti dengan banyaknya anak-anak kita yang seolah-olah hanya dirangsang dengan “maaf” didikan seorang pembantu, sebagai pengganti ibu-ibu yang bekerja membantu pencarian hidup keluarganya. Permasalahannya orang-orang tersebut atau pembantu belum mengerti betul tentang tumbuh kembang anak bahkan mereka juga tidak mengandung selama 9 bulan sebagai bentuk pembelajaran alam kepada seorang ibu, kasarnya tidak mempunyai hubungan batin yang kuat yang bisa memberikan kasih sayang seutuhnya.
Akibat perubahan pola hidup ini mengakibatkan perubahan pertumbuhan AUD, yang berdampak kepada semakin berkurangnya stimulasi-stimulasi awal yang amat dibutuhkan seorang anak pada masa emas tersebut. Sesungguhnya masa terpenting ini adalah merupakan tanggungjawab dari pendidikan keluarga bukan nonformal maupun formal, dan ini pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan dasar manusia. Akan tetapi dengan kenyataan tersebut diperlukan sebuah pendidikan awal yang diberikan oleh Pemeritah melalui pendidikan nonformal yang saat ini sudah dilakukan atau paling tidak segera mensosialisasikan dengan baik kepada masyarakat tentang pentingnya PAUD tersebut serta hal yang harus dilakukan agar dapat menyelamatkan generasi penerus bangsa ini sehingga mampu mempunyai daya saing tinggi atau paling tidak mampu menghadapi kehidupannya kelak dengan sebaik-baiknya dengan segala potensi yang telah terbangun dengan baik.
Saat ini pengembangan PAUD di Indonesia telah menimbulkan dilema, upaya untuk dapat memberikan pelayanan PAUD kepada setiap anak yang ada di Indonesia, akan tetapi banyak hal yang tidak dapat dipenuhi dengan semestinya. Dan ini bisa menyebabkan perkembangan anak yang tidak optimal sesuai dengan keinginan yang dituju, malah akan lebih membahayakan bila tidak ditangani secara cepat dan tepat karena semua ini berhubungan persiapan segenap potensi yang ada guna dapat membangun seorang insan manusia dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Pertama, sesuai dengan PP 19 maka seluruh Pendidik PAUD minimal adalah strata satu. Permasalahannya bagaimana mungkin dapat membuat S1 semua Pendidikan PAUD sejumlah 359 ribu orang (sumber data dari Ditjen PMPTK) orang untuk dapat melayani 28 juta orang anak usia dini. Bahkan persoalan selanjutnya adalah bahwa ternyata hampir sebagian besarnya merupakan lulusan dari SMP dan SMA, hanya sebagian kecil S1. Atau permasalahan selanjutnya adalah sedemikian pentingkah kualifikasi tersebut bagi seorang Pendidik PAUD ? Bahkan Prodi untuk khusus Jurusan PAUD hanya sedikit di Indonesia, bisa dihitung dengan jari, bagaimana mungkin dapat dikejar semuanya mengingat masa-masa emas anak-anak tersebut tidak bisa dihentikan waktunya. Berbeda dengan perencanaan Pemerintah yang memberikan waktu 10 tahun untuk mencapai PP tersebut. Sungguh ini amat berbahaya bila tidak secepatnya dicarikan upaya bagi anak-anak yang kita cintai itu.

Kedua, pembangunan kompetensi SDM dari Pendidik PAUD sebagai ujung tombak pengajar bagi anak-anak kita. Ini juga tidak boleh dilakukan setengah-setengah karena merekalah yang nanti akan membentuk anak-anak kita menjadi seperti apa kelak. Bila diharapkan dapat meningkatkan kompetensi mereka melalui diklat-diklat, maka pertanyaannya adalah seberapa baik kualitas dari diklat tersebut ? Seberapa banyak pemerintah mampu melakukan diklat terhadap Pendidik PAUD ? Bagaimana Pemerintah mampu untuk dapat melakukan percepatan dalam meningkatkan kompetensi mereka saat ini ?

Ketiga, aspek keibuan secara mental seorang pendidik PAUD, mereka pada dasarnya mereka belum mengerti aspek kejiwaan seorang anak secara kejiwaan karena mereka tidak mengandung atau mengerti rasanya mempunyai seorang anak. Sedangkan dari diklat mereka baru mengetahui tentang kemampuan membaca dan menulis atau kemampuan motoriknya juga aspek kejiwaan dari seorang anak secara teoritis. Sebagai ilustrasi seorang ibu yang diberikan hak asuh oleh Tuhan harus selama 9 (sembilan) bulan mengandung anaknya, waktu tersebut paling tidak akan memberikan pembelajaran kepada seorang wanita tentang arti mendidik seorang anak, seperti kesabaran, mengerti anak, psikologi anak, dan lain sebagainya dengan secara naluriah. Dapat dibayangkan ketika mengatakan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan masa-masa penting dalam kehidupan seorang manusia baik untuk perkembangan otaknya, perkembangan motriknya bahkan perkembangan mentalnya, kita malah tidak memperhatikan SDM dari anak-anak kita yang mendidik anak kita, apakah ini tidak malah membahayakan tumbuh kembang anak kita ? Sudahkah dalam diklat-diklat tersebut diberikan sentuhan tentang arti sebagai Ibu bagi Pendidik PAUD? Sungguh kesemua ini membuat kita kuatir apabila tanpa ada perbaikan-perbaikan pendidikan anak usia dini kita diserahkan kepada mereka.

Keempat, kecilnya insentif yang diberikan kepada Pendidik PAUD, bahkan dibeberapa wilayah ada yang dibayar dengan menukarkan dengan beras, sayur mayur, dsb. Bahkan Pemerintah melalui Dit. PTK-PNF sampai saat ini baru bisa memberikan insentif sebesar 600 ribu per tahun, itu pun tidak semua Pendidik PAUD, masih amat terbatas. Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak-anak kita dengan baik, mereka sendiri sedang dalam kesulitan dalam hidupnya, ironis bukan.

Kelima, tersebarnya penanganan PAUD dalam berbagai instansi Pemerintah menyebabkan kurangnya koordinasi dengan baik, sehingga penanganannya terkadang menjadi tidak fokus atau bias atau tidak berkesinambungan. Ada baiknya Pemerintah menyatukan keseluruhannya sebagai bentuk perhatian terhadap PAUD dengan membentuk Direktorat Jenderal khusus yang menangani PAUD ini. Sehingga semua bentuk program atau kegiatan akan terkoordinasi dengan baik dan dapat melakukan sebuah perencanaan yang lebih matang serta percepatan-percepatan untuk membangun PAUD ini.

Keenam, saat ini Pemerintah sepertinya lebih mengutamakan untuk dapat melayani anak usia dini sebanyak-bannyaknya atau berdasarkan kuantitas bukan kepada kualitas. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya karena pendidikan itu bukan sebuah pembangunan insan secara utuh, jadi sesungguhnya kedua-duanya tidak dapat dipisahkan. Jangan samakan pendidikan dengan kemiskinan, perbedaan keduanya amatlah besar, Tuhan menciptakan manusia semuanya mempunyai akal karena inilah perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Sedangkan kemiskinan merupakan sebuah skenario Tuhan bagi hambanya untuk berkehidupan di bumi ini, sampai kapanpun kemiskinan itu tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini karena merupakan bagian dari realita kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ketika melakukan penanganan orang-orang miskin dengan lebih memilih kuantitas daripada kualitas kehidupannya, ini sah-sah saja dalam artian standar minimal kebutuhan seorang manusia untuk kehidupannya secara fisik sudah dapat diukur dengan baik. Apakah hal ini juga yang ingin kita lakukan terhadap anak-anak kita ? Padahal jelas bahwa setiap anak itu mempunyai keunikan dan bakat tersendiri per individunya. Bila ini terus dilakukan maka yang terjadi adalah sebuah pemasungan perkembangan insan seorang manusia yang telah diberikan haknya oleh yang Maha Kuasa.

Ketujuh, keberhasilan yang dilakukan dengan PAUD Pendidikan NonFormal tersebut ternyata berdampak dengan adanya sebutan “saling berebut lahan”, demikian sebutannya ketika adanya kecemburuan antara penanganan PAUD melalui formal, melalui TK, dengan penaganan PAUD melalui pendididikan nonformal seperti Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, dsb. Salah satu penyebabnya adalah karena program PAUD yang dilaksanakan oleh Dit. PAUD biayanya tidak mahal dibandingkan dengan program PAUD pada pendidikan formal bahkan sering kali gratis. Ini tidak terlepas dari curahan anggaran yang diberikan kepada PAUD NonFormal yang demikian luas tersebar dan cukup besar jumlahnya, walau tidak memperhatikan betul-betul standar-standar yang harus dipenuhi seperti jalur formal. Faktor yang lain adalah bahwa sifat dari pendidikan nonformal ini menyebabkan setiap lapisan masyarakat yang peduli dan simpati dengan PAUD akan berlomba-lomba untuk dapat melaksanakannya, bahkan sebagian karena perhatian mereka terhadap komunitas mereka, demi masa depan anak cucu mereka mereka.
Inilah yang dinamakan dengan dilema, dimana kita amat sangat mengetahui bahwa PAUD itu teramat penting dan paling berharga dalam kehidupan seorang manusia sehingga sesungguhnya amatlah riskan apabila tidak ditangani oleh orang-orang yang profesional dan betul-betul mengetahui ilmu tumbuh kembang anak. Namun bila ini harus dipenuhi maka semakin tidak terlayani pendidikan anak usia dini yang ada di Indonesia karena keterbatasan SDM bahkan mungkin juga sarana prasarana atau anggaran. Sungguh sebuah permasalahan yang benar-benar harus segera ditangani dengan cepat dan tepat berkenaan dengan dampaknya bagi penerus bangsa yang kita cintai ini dalam kehidupannya di masa yang akan datang.

Membangun Insan Kamil

Demi menuju Visi Depdiknas, yaitu “Menuju Insan Indonesia Yang Cerdas dan Kompetitif”, maka PAUD merupakan sebuah kunci pembangunan dalam membangun seorang insan, sehingga tidak bisa dianggap sebelah mata atau setengah-setengah karena akan berdampak kepada pembangunan secara keseluruhan diri seorang manusia, baik itu akal, fisik maupun jiwanya. Masa terpenting dalam pembangunan karakter seseorang sudah dimulai sejak dalam kandungan sampai dengan umur 8 tahun menurut dunia internasional atau 6 tahun menurut UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jadi ketika dipertanyakan mana yang lebih penting dalam memberikan layanan kepada anak usia dini, kuantitas atau kualitas, maka kedua-duanya harus berjalan secara bersamaan dengan kesungguhan-kesungguhan dan sinergi antara Pemerintah dan masyarakat. Karena apabila lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas maka hasilnya adalah anak-anak kita yang tidak bisa bersaing dengan anak-anak lain, mereka banyak akan tetapi selalu kalah dengan anak-anak yang baik secara kualitas dalam mendapatkan PAUD, ini tentu tidak kita harapkan.
Hal yang terpenting lainnya adalah peningkatan mutu dari Pendidik PAUD, Pemerintah harus segera dapat memetakan kemampuan dari seluruh Pendidik PAUD baik dari sisi kompetensi maupun kualifikasi sehingga mereka tidak bekerja dengan sembarangan, juga berkaitan dengan hal-hal uang harus dilakukan kelak untuk dapat meningkatkan kualitas mereka. Sekali lagi nasib anak-anak kita berada di bawah tangan mereka. Selajutnya setiap Pendidik juga harus mampu memetakan kemampuan dari masing-masing individu seorang anak yang masing-masing mempunyai keunikan, juga ini akan berdampak dalam percepatan pembangunan SDM di Indonesia.
Untuk dapat melakukan percepatan maka Pemerintah harus segera dapat membangun berbagai bentuk kemitraan antara Pemerintah dengan Pemerintah, Pemerintah dengan masyarakat melalui LSM atau Orsosmasnya dan Pemerintah dengan Keluarga atau satuan unit terkecil pada masyarakat. Saat ini yang sering terlupakan oleh Pemerintah adalah membangun PAUD pada tataran keluarga atau secara informal, padahal jalur ini sesungguhnya mempunyai peluang yang besar dalam melakukan percepatan untuk pengembangan PAUD ditengah keterbatasan Pemerintah. Selain itu bahwa ternyata perkembangan seorang anak yang berumur 0 – 4 tahun itu ternyata lebih banyak di dalam keluarganya, sehingga dibutuhkan sebuah pendiddikan bagi keluarga tentang pentingnya PAUD dan apa yang harus diperhatikan dalam tumbuh kembang seorang anak.
Namun demikian, ini juga memerlukan keseriusan dalam melaksanakannya karena sasarannya yang demikian luas, juga status sosial mereka yang berbeda, tingkat pendidikan mereka yang berbeda, dan lain sebagainya. Tapi bila program ini berhasil maka sudah pasti akan menyebabkan percepatan yang cukup signifikan.
Sosialisasi merupakan hal yang terpenting guna memberikan penjelasan kepada masyarakat secara luas tentang pentingnya PAUD, serta hal minimal yang harus diketahui untuk dapat dilakukan oleh masyarakat bagi anak-anaknya. Baik itu melalui media cetak, elektronik maupun teknologi informasi.
Ini juga sebagai upaya untuk dapat mengejar ketertinggalan dari layanan PAUD yang saat ini begitu menyebar tapi tanpa memperhatikan isi dari pembelajarannya dengan sebaik-baiknya, bahkan jika perlu pembelajaran PAUD ini dapat diketahui tidak saja oleh Pendidik PAUD akan tetapi seluruh komponen masyarakat, karena sudah barang tentu mereka amat manyayangi anak-anak mereka. Jangan sampai PAUD ini hanya menjadi milik salah satu orsosmas, atau salah satu Direktorat pada Pemerintah, tapi jadikan dia sebagai milik bangsa ini.
Dan terakhir, pembentukkan unit eselon I untuk mengelola PAUD juga dirasakan amat penting dan harus secepatnya dapat dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan kesinambungan program yang dilakukan karena saat ini tidak hanya Depdiknas yang mempunyai program bagi PAUD tetapi tersebar juga pada instansi lain. Departemen Kesehatan dengan program fasilitasi kesehatan gizi seorang anak, Departemen Sosial dengan program kesejahteraan anak, dan Departemen Agama memberikan program untuk dapat memfasilitasi PAUD pada lembaga-lembaga Agama, serta kesemuanya memerlukan sebuah koordinasi untuk dapat melakukan percepatan pengembangan PAUD.

Pengembangan TIK

Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan NonFormal (Dit. PTK-PNF) sesungguhnya sangat peduli dengan pengembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK), hal ini bisa dilihat dari berbagai program unggulan dengan menggunakan dana yang dianggarkan untuk pengembangan TIK tersebut setiap tahunnya, hampir berkisar sekitar 0.5% dari total anggaran atau 1,57 % dana swakelola dari APBN tahun 2007. Dana tersebut selain untuk melaksanakan program pengembangan TIK juga untuk perawatan dan pengadaan sarana prasarana maupun honororium guna mendukung pengembangan TIK di Direktorat. Belum lagi apabila ditambahkan dengan dana pembantuan bagi UPT Pusat maupun daerah yang digunakan untuk pengembangan TIK nya, seperti alokasi berkisar 6-8 % tahun 2008 dari dana pembantuan bagi BPPNFI, BPKB dan SKB untuk mendukung pendataan PTK-PNF.

Portal www.jugaguru.com
Salah satu program unggulan dalam pengembangan TIK pada Dit. PTK-PNF ialah adanya corong informasi melalui web yaitu www.jugaguru.com, bahkan perkembangannya saat ini sudah cukup membahagiakan karena grafik pengunjungnya semakin tinggi pada tiap tahunnya. Hal ini sangat menggembirakan karena sesuai dengan harapan adanya web ini menjadi sumber informasi bagi PTK-PNF yang ada di seluruh dunia mengetahui program pada Dit. PTK-PNF sekaligus mendapatkan masukan dari mereka untuk pengembangan program peningkatan mutu PTK-PNF.

NO URAIAN 2006 2007 2008
1 Pengunjung 2.900 IP 31.993 IP 18.607 IP
2 Jumlah Kunjungan 4.983 kali 51.777 kali 28.503 kali
3 Halaman 130.940 hal 746.330 hal 414.950 hal
4 Hits 389.631 hal 2.631.442 hal 1.407.673 hal
5 Bandwith 4,32 GB 29,42 GB 19,61 GB
6 Periode Agus – Des Jan - Des Jan - Mar

Tabel 1. Perkembangan Pengunjung www.jugaguru.com


NO URAIAN 2006 2007 2008
1 Berita 180 tulisan 240 tulisan 50 tulisan
2 Pustaka 26 materi 8 materi 3 materi
3 Kolom Pakar 1 tulisan 1 tulisan
4 Profil Pilihan 1 profil 8 profil 4 profil
5 Artikel 36 tulisan 46 tulisan 3 tulisan
6 Konsultasi 1 tulisan 6 tulisan
7 Ekspresi 13 tulisan 7 tulisan 1 tulisan
8 Kotak Pesan 13 konsul 58 konsul 30 konsul
9 Foto Eksklusif 9 keg 25 keg 6 keg

Tabel 2. Perkembangan Tulisan

Bila dilihat dari jumlah pengunjung yang naik cukup baik ternyata tidak diimbangi dengan kenaikan yang signifikan untuk tulisan yang masuk di portal ini. Hal ini salah satu sebabnya adalah kurangnya sumbangsih pemikiran atau tulisan atau berita dari daerah masih dirasakan amat kurang, oleh karena itu mohon kiranya kepada teman-teman daerah dapat mengirimkan tulisannya atau menjadi anggota tim redaksi www.jugaguru.com mengirimkan email ke info@jugaguru.com demi membangun sumber informasi yang sudah ada ini.

Pengembangan DSS

Decission Support System (DSS), sebuah sistem yang diharapkan dapat menjadi sebuah penilaian kinerja dari PTK-PNF bahkan diharapkan dapat menjadi acuan bagi pengembangan sertifikasi bagi PTK-PNF. Pengembangan DSS ini sesungguhnya sudah dilakukan sejak tahun 2006, berawal dari ucapan sederhana Bapak Fasli Jalal, selaku Dirjen PMPTK waktu itu yang membayangkan bahwa seorang PTK berdiri pada layar komputer, kemudian mengisi rangkaian pertanyaan lalu akan terlihat kinerja dan kemampuan mereka seperti apa. Sebuah ungkapan yang amat sederhana akan tetapi membutuhkan pekerjaan yang harus dipersiapkan sedini mungkin dan mensinergikan dari berbagai aspek bidang keilmuan.
Saat ini pengembangan DSS sudah sampai pada tahapan pembuatan soal-soal sesuai dengan indikator yang telah disusun oleh Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP) untuk standar kompetensi bagi PTK-PNF. Pembuatan soal-soal ini bukanlah merupakan sebuah pekerjaan yang mudah akan dilihat penilaiannya dari berbagai aspek, ini berkaitan dengan penilaian terhadap kinerja mereka.
Diharapkan pada tahun 2008 ini, sudah dapat dipublikasikan aplikasi DSS bagi PTK-PNF ini khususnya bagi Pamong Belajar, Penilik dan Tutor Kesetaraan dan Keaksaraan serta Pendidik PAUD, sedangkan PTK-PNF lainnya masih ditunggu standar kompetensi yang dikeluarkan oleh BSNP.

Pendataan melalui aplikasi SIM-NUPTK
Pendataan PTK-PNF merupakan sesuatu yang dirasakan cukup sulit, karena kebanyakan PTK-PNF itu, khususnya yang non PNS bersifat On – Off. Sehingga dibutuhkan sebuah sistem khusus yang mampu untuk mengatasi permasalahan ini.
Awal pendataan PTK-PNF yang dilakukan secara manual baru mendapat data PTK-PNF by name sebanyak ± 104 ribu orang (per Oktober 2007). Metode yang dilakukan dengan menggunakan pengumpulan data melalui instrumen yang diberikan kepada UPT di Pusat maupun Daerah. Ternyata dengan menggunakan metode ini tingkat pengembalian data dirasakan masih rendah, sehingga perlu adanya sebuah terobosan dalam pendataan PTK-PNF yang dilakukan.
Tahun 2008, Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK) pada saat Rembuk Nasional pada awal tahun 2008 di Sawangan mengeluarkan kebijakan bahwa pendataan PTK baik formal dan nonformal akan dilakukan melalui aplikasi SIM-NUPTK.
Mekanisme pendataan yang dilakukan dengan sistem ini bersifat offline, dalam artian aplikasi-aplikasi dalam bentuk CD diberikan kepada instansi terkait, khususnya UPT Pusat dan Daerah pendidikan nonformal, kemudian mengisi data PTK-PNF dengan aplikasi tersebut. Setelah itu aplikasi yang sudah berisi PTK-PNF dikumpulkan ke Direktorat PTK-PNF untuk kemudian diolah.
Pemberdayaan Forum Pengelola Teknologi Informasi Pendidikan NonFormal
Selain itu Dit. PTK-PNF juga memfasilitasi keinginan dari para pengelola TIK di daerah-daerah yang menghendaki adanya sebuah asosiasi/forum yang menjadi wadah bagi pengelola TI untuk saling berinteraksi dan menyamakan persepsi, bernama Forum Pengelola Teknologi Informasi Pendidikan NonFormal.
Selain kelak dapat menjadi training provider bagi pelatihan teknologi informasi salah satu harapan pembentukan forum ini adalah membantu pendataan PTK-PNF yang dilakukan oleh Dit. PTK-PNF dengan memberdayakan anggota forumnya.
Salah satu sebab sulitnya pendataan dilakukan adalah belum adanya orang atau kelompok orang yang bertugas khusus untuk menjadi pengelola data pada UPT Pusat dan Daerah, ini sangat diperlukan karena ternyata pendataan ini memerlukan konsentrasi tersendiri dan tidak semua orang senang dengan pekerjaan ini baik dari sisi pekerjaan maupun adanya anggapan selama ini bahwa orang yang mendata itu masih kurang mendapatkan perhatian. Dengan adanya forum diharapkan mampu untuk mengatasi persoalan-persoalan ini, sekaligus mampu memperjuangkan penghargaan bagi para petugas pendataan tersebut.
Demikian keempat program ini yang telah dilakukan oleh Dit. PTK-PNF sebagai upaya untuk mengembangkan TIK bagi pengembangan pendidikan nonformal. Hal yang lebih penting lagi adalah sebuah pensinergian antara program pusat dan daerah khususnya bagi TIK, demi mencapai optimalisasi tujuan yang diharapkan serta mencapai efisiensi dana yang dikeluarkan.

Jambore PTK-PNF Sebagai Upaya Pencitraan PNF

Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan NonFormal (Dit. PTK-PNF) sejak tahun 2007 telah melaksanakan program Jambore PTK-PNF yang untuk tingkat nasional disebut Jambore 1000 PTK-PNF. Program ini merupakan salah satu bentuk penghargaan dan perlindungan bagi PTK-PNF yang sifatnya pencitraan publik secara luas sehingga diharapkan dapat mendorong peningkatan kompetensi dan kreatifitas dari PTK-PNF sekaligus dapat meningkatkan solidaritas profesi serta semangat nasionalisme.
Selama ini kita selalu mendengar bahwa keberadaan pendidikan nonformal masih begitu dipinggirkan dibandingkan dengan pendidikan formal, padahal bila dilihat dari keragaman dan kreatifitas serta aplikasinya terhadap masyarakat sudah seharusnya pendidikan nonformal mendapatkan penghargaan yang sama bahkan nilai lebih dibandingkan dengan pendidikan formal.
Dalam Jambore PTK-PNF kita dapat memperlihatkan keberagaman dan kreatifitas yang ada pada pendidikan nonformal, ini dapat dilihat dari 14 (empat belas) mata jenis perlombaan yang dilombakan yang terbagi menjadi 2 jenis perlombaan yaitu perorangan kelompok.
Untuk kategori perorangan jenis kegiatannya dalam 2 (dua) bentuk yaitu dan Pekan Olah Raga dan Seni (PORSENI). Untuk Lomba Karya Nyata (LKT) dan Lomba Karya Tulis (LKT) dengan 8 (delapan) jenis PTK-PNF yaitu Tutor Paket B dengan tema Metodelogi Pembelajaran, Tutor Keaksaraan Fungsional dengan tema Metodelogi Pembelajaran Konstektual, Pengelola Kursus dengan tema Manajemen Kursus Masuk Desa, Pamong Relajar BPKB/SKB dengan tema Percontohan/Model Pengembangan Program/Kegiatan, Kepala SKB dengan tema Manajemen UPTD SKB, Penilik dengan tema Model Evaluasi Program PNF dan Pengelola PKBM dengan tema Manajemen TBM di SKB/PKBM. PORSENI memperlombakan 6 (enam) PTK-PNF yaitu Pendidik PAUD dengan jenis lomba Dongeng Anak Usia Dini, Instruktur Seni Musik dengan jenis lomba Cipta Lagu/Mars PTK-PNF, Instruktur Tata Rias Pengantin dengan jenis lomba Peragaan Tata Rias Pengantin Indonesia, Pengelola TI dengan jenis lomba Desain Grafis/Logo PTK-PNF, Tenaga Lapangan Dikmas (TLD) dengan jenis lomba Olah Raga Tradisional Pencak Silat dan Instruktur Tata Boga dengan jenis lomba Penyajian Kue Tradisional. Sedangkan untuk kategori kelompok pesertanya merupakan gabungan dari 14 (empat belas) jenis PTK-PNF yang berasal dari provinsi yang sama berlomba untuk jenis lomba Poco-poco dan Paduan Suara.
Disini dapat terlihat begitu kayanya pendidikan nonformal tersebut, sebagai bahan informasi tambahan bahwa jenis lomba antara tahun 2007 dengan tahun 2008 sudah mengalami perubahan-perubahan sesuai dengan kreatifitas dari PTK-PNF, jadi bukan tidak mungkin pada tahun 2009 akan timbul jenis mata lomba-mata lomba yang baru. Misalnya Instruktur Kursus yang mempunyai ratusan jenis bidang kursus, dan masing-masing bidang dapat dijadikan jenis mata lomba. Atau Pendidik PAUD dengan kreasinya yang begitu beragam dalam memberikan pembelajaran terhadap anak-anak juga dapat dijadikan banyak jenis mata lomba, dan masih banyak contoh lainnya yang dapat digali dari pendidikan nonformal ini.
Perlu diingat bahwa Jambore 1000 PTK-PNF di tingkat nasional pesertanya merupakan pemenang dari seleksi Jambore PTK-PNF ditingkat Provinsi, dimana Jambore ditingkat Provinsi pesertanya merupakan pemenag seleksi dari tingkat Kabupaten/Kota. Harapan kami mereka yang hadir nantinya merupakan orang-orang terpilih yang siang untuk berjuang demi provinsinya dengan semangat nasionalisme yang menjunjung tinggi nilai persatuan dan kesatuan nasional.
Pelaksanaan Jombore di tingkat Provinsi ini dananya berasal dari APBN Direktorat PTK-PNF yang anggarannya berkisar diantara 300 juta rupiah, dengan dana tersebut diharapkan Provinsi dapat melaksanakan kegiatan ini dengan sebaik-baiknya. Walau demikian seringkali Direktorat menyebutnya dengan dana pancingan atau stimulan, terlebih lagi dengan anggaran yang diberikan ditingkat Kabupaten/Kota yang hanya berkisar 3 juta rupiah. Kedepan kami harapkan pro aktif dari Pemerintah Daerah, khususnya Dinas Pendidikan Provinsi untuk kiranya dapat memberikan bantuan dana yang ada di APBD demi kemeriahan dan kesuksesan acara yang kita banggakan ini.
Yang terpenting lagi dalam pelaksanannya adalah sinergi antara Dinas Pendidikan Provinsi sebagai penanggungjawab kegiatan dengan Balai Pengembangan Pendidikan NonFormal dan Informal (BPPNFI)/Balai Kegiatan Pengembangan Belajar (BPKB) sebagai Koordinator Penilaian serta dengan para Akademisi, Praktisi dan Kelompok Kerja PTK-PNF.
Puncak dari kegiatan ini adalah Gebyar Jambore 1000 PTK-PNF yang akan dilaksanakan di Semarang pada tanggal 6 s.d. 11 Agustus 2008, rencananya akan dibuka oleh Menteri Pendidikan Nasional didampingi Gubernur Jawa Tengah. Untuk mengingatkan kembali bahwa pemilihan tempat di Semarang, Jawa Tengah merupakan bentuk penghargaan kepada Provinsi Jawa Tengah sebagai Juara Umum dari Jambore 1000 PTK-PNF tahun 2007 lalu. Dalam acara ini diundang 1101 orang PTK-PNF, yaitu (i) 547 orang peserta lomba Jambore 1000 PTK-PNF tingkat nasional, bertempat di LPMP Jawa Tengah dan BPPNFI Regional III tanggal 7 s.d. 10 Juli 2008; (ii) 200 orang peserta Forum Ilmiah PTK-PNF yang terdiri dari Tim Akademisi baik Pusat maupun UPTD, utusan LPTK yang mempunyai jurusan PLS, Asosiasi/Forum PTK-PNF dan Praktisi PTK-PNF, bertempat di Hotel Grand Candi tanggal 9 s.d. 11 Agustus 2008; (iii) Bimbingan Teknis Penyusunan Program yang terdiri dari Kepala BPPNFI, BPKB dan SKB serta Kasi Program pada LPMP, P4TK, BPPNFI dan BPKB di seluruh Indonesia, bertempat di Hotel Santita tanggal 8 s.d. 11 Agustus 2008; (iv) 40 orang KOV dalam Forum Evaluasi KOV, bertempat di Hotel Santika tanggal 9 s.d. 11 Agustus 2008; (v) 34 orang Kepala LKBH dalam Rakor LKBH, bertempat di Semarang; dan (vi) 80 orang Instruktur Kursus dalam Diklat Instruktur Kursus, bertempat do Hotel Pandanaran, 6 s.d. 11 Agustus 2008.
Kegiatan ini merupakan event nasional bagi PTK-PNF di seluruh Indonesia sebagai ajang pembuktian diri serta peningkatan kreatifitas. Oleh karena itu diperlukan dukungan dan sinergi dari para birokrasi, akademisi, praktisi serta pemerhati terhadap PTK-PNF demi kesuksesan acara yang dibanggakan seluruh PTK-PNF.

Menuju Kualifikasi Khusus PTK-PNF

Peraturan Pemerintah Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan telah mengamanahkan bahwa Pendidik dan Tenaga Kependidikan baik formal maupun nonformal minimal kualifikasinya strata satu (S1), walau demikian untuk mencapainya diberikan batasan waktu 10 tahun.
Dalam PP 19/2005 di pasal 29 jelas disebutkan bahwa untuk Pendidik baik PAUD atau yang sederajat, SD/MI atau yang sederajat, SMP/MTS atau yang sederajat, SMA/MA atau yang sederajat jelas disebutkan bahwa kualifikasi mereka minimum D-IV atau S1. Berkenaan dengan hal tersebut jelas bahwa Direktorat PTK-PNF selaku instansi Pemeritah sebagai memangku amanat PP tersebut untuk dapat membuat semua PTK-PNF dengan kualifikasi S1.
PTK-PNF saat ini secara agregat sejumlah ± 1,7 juta orang (sumber: Dittentis, 2004), sedangkan data PTK-PNF per individu yang berhasil terkumpulkan sejumlah 107 ribu orang (sumber: Dit. PTK-PNF, 2008). Dalam pemaparannya berulangkali Erman Syamsuddin mengatakan bahwa dari seluruh PTK-PNF baru sekitar 10% yang kualifikasinya sudah memenuhi standar sesuai dengan PP 19, sisanya masih menjadi tugas dari Dit. PTK-PNF serta masyarakat pemerhati pendidikan nonformal.
Khusus untuk Pamong Belajar dan Penilik yang sudah memenuhi kualifikasi sesungguhnya sudah cukup baik, untuk Pamong Belajar sudah 72 % yang S1 dari 3210 orang (sumber: Data Dittentis 2004) dan Penilik hampir 37 % yang lulus S1 dari 6733 orang (sumber: Data Dittentis 2004). Namun tidak begitu halnya PTK-PNF lainnya seperti Pendidik PAUD, Instruktur Kursus, Tutor dan Pengelola Satuan Pendidikan, datanya semuanya masih jauh dari yang diharapkan.
Sebagai gambaran khusus untuk Pendidik PAUD saat ini kebanyakan adalah bukan tenaga-tenaga profesional seperti yang diharapkan, bahkan kebanyakan adalah wanita-wanita yang lulusan dari SMP atau SMA, begitu juga dengan Tutor kesetaraan kebanyakan berasal dari Guru pada pendidikan formal, Lain lagi dengan tutor kesetaraan yang banyak berasal dari organisasi masyarakat. Keragaman PTK-PNF ini serta tugas pokok dan fungsinya terlebih lagi dengan sasarannya yang begitu beragam dan dinamis membuat pendidikan nonformal membutuhkan metode khusus dalam penanganannya.
Demi melaksanakan PP 19/2005, dengan memberikan beasiswa atau bantuan pendidikan kepada PTK-PNF dirasakan amat mahal biayanya. Dapat dibayangkan apabila per semester untuk S1 diberika dana sekitar 1,8 juta per orang, untuk S2 sejumlah 2,5 juta per orang atau S2 sejumlah 3 juta per orang. Maka pertahun untuk S1 sebesar 21 juta atau selama lulus (5 tahun) berkisar hampir 105 juta, sedangkan untuk S2 pertahun berkisar 30 juta atau selama lulus berkisar 150 juta dan S3 berkisar 36 juta pertahun atau selama lulus 180 juta. Sebuah biaya yang amat mahal. Bisa dihitung untuk dapat mengangkat semua PTK-PNF menjadi S1 yang per orang membutuhkan anggaran 105 juta menjadi amat sangat mahal harganya, 10 orang saja sudah 1 M harganya. Apalagi jika harus me S1 kan 1,7 juta orang PTK-PNF, sungguh sebuah harga yang amat mahal sekali.
Oleh sebab itu, salah satu strategi dari Direktorat adalah dengan menggunakan sistem konversi, sebuah konsep yang ingin mengkonversikan diklat yang dilakukan untuk pengembangan kompetensi PTK-PNF (Diklat Profesi) sehingga dapat diakui menjadi SKS dalam dunia akademisi. Oleh karena itu perlu dicarikan sebuah model diklat yang sudah dikaji dari sisi akademik, legalitas, pengintegrasian dengan kurikulum program studi yang dilakukan dan lain sebagainya.
Saat ini Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi telah berupaya meningkatkan kualitas dari lulusan Perguruan Tinggi dengan berbagai cara, antara lain dengan menetapkan akreditasi bagi setiap Perguruan Tinggi Negeri maupun Swasta. Sudah barang tentu ini berpengaruh kepada standar kelulusan setiap mahasiswa, kurikulum yang digunakan, kualitas dosen, jam belajar, dan lain sebagainya. Maka model diklat konversi yang digunakan harus betul-betul dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Menindaklanjuti hal tersebut Direktorat PTK-PNF melakukan kerjasama dengan 4 (empat) LPTK terpilih untuk masing-masing model diklat sesuai dengan kajian mereka masing-masing yang tertuang dalam proposal programnya dalam melakukan program rintisan yang diberinama “Konversi Hasil Diklat ke SKS”, awal rintisan ini dilakukan kerjasama dengan 4 (empat) Perguruan Tinggi yaitu Universitas Negeri Yogjakarta (UNY), Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
UNJ dalam kerjasamanya mengkhususkan untuk pembahasan dan penelitisan bagi model diklat yang akan dilakukan terhadap Tutor PAUD, Tutor Kesetaraan dan Tutor Keaksaraan guna mendukung sistem konversi ini. Hal yang dilakukan berupa kajian-kajian teoritik model diklat, pembuatan rancangan model diklat, pambahasan rancangan tersebut dan penyusunan langkah dalam pelaksanaan model tersebut. UNM dalam merealisasikan program tersebut lebih mengena ke substansi dengan melakukan diklat menjadi 3 (tiga) tahapan yaitu tahapan pertama untuk 5 (lima) hari, melakukan pembelajaran materi teoritis dan praktek terbatas dalam kelas. Tahap kedua selama 52 hari, belajar mandiri disertai bimbingan teknis dari fasilitator, dan tahap terakhir selama 3 hari, presentasi hasil dari tugas mandiri. Kesemuanya bahkan dihargai sebanyak 8 SKS untuk 480 jam pelajaran dalam 9 materi pelajaran yang sudah terbagi dari tahapan-tahapan tersebut. UNY mendiklatkan 35 orang tutor pendidikan kesetaraan untuk selama 9 minggu atau 144 jam yang setara dengan 12 SKS. Lain lagi dengan UPI yang melakukan diklat untuk 30 tutor pendidik PAUD. Hasil dari yang dikerjakan oleh keempat LPTK ini diharapkan dapat menjadi model diklat untuk konversi bagi bagi LPTK-LPTK yang lain kedepannya.
Namun, hal penting yang perlu diperhatikan adalah bahwa sesungguhnya pengembangan pendidikan nonformal itu berbeda dengan pendidikan formal, pendidikan nonformal bersifat lebih fleksibel dan dinamis. Terbukti ketika Direktorat PTK-PNF menawarkan program beasiswa kepada seluruh PTK-PNF pada tahun 2007, ternyata hamir 8% dari 370 orang yang mengembalikan beasiswanya kepada negara dengan alasan bahwa dana yang didapatkan dari beasiswa tidak mencukupi kehidupan mereka, ini amat berbeda dengan apa yang terjadi di pendidikan formal yang kebanyakan berasal dari PNS, sehingga mereka mempunyai gaji yang tetap dan jelas. Perlu juga diingat bahwa bagi pendidikan nonformal yang terpenting itu bukan kualifikasi akan tetapi kompetensi, karena pendidikan nonformal itu sesungguhnya lebih menyentuh langsung kepada masyarakat, sesuai dengan kebutuhan masyarakat atau apa yang diinginkan masyarakat serta pengakuan dari masyarakat.
Kedepan nantinya diharapkan setiap sumbangsih apapun yang dilakukan terhadap masyarakat oleh PTK-PNF bisa dihargai secara akademis, tentunya setelah memenuhi persyaratan-persyaratan yang telah diakui oleh Perguruan Tinggi. Ini mungkin lebih baik bagi PTK-PNF dibandingkan mereka harus mengikuti perkuliahan yang bersifat konvensional seperti beasiswa.

Menuju Jambore PTK-PNF Bermartabat Catatan Pinggir Jalan Jambore 1000 PTK-PNF 2008

Sudah 2 tahun Jambore PTK-PNF dilaksanakan oleh Pemerintah melalui Direktorat Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan NonFormal (Dit. PTK-PNF), Direktorat Jenderal Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan (Ditjen PMPTK), Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Tujuan utama dari Jambore PTK-PNF ini sebagai upaya untuk sosialisasi sekaligus upaya pencitraan bagi PTK-PNF yang ada di seluruh Indonesia bahkan puncak acaranya ditutup secara gegap gempita oleh Menteri Pendidikan Nasional dan di hibur dengan artis-artis nasional maupun lokal.
Jambore PTK-PNF untuk acara puncaknya pertama kali dilaksanakan di Teater Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di Jakarta yang dapat dikatakan acaranya berlangsung dengan sukses secara umum, begitu juga untuk yang kedua kalinya dilakukan di Balai Diponogoro Semarang, Jawa Tengah, sebagai pemenang Jambore 1000 PTK-PNF tahun yang lalu di Jakarta maka berkesempatan menjadi tuan rumah untuk Jambore ditahun selanjutnya.
Yang menarik adalah bahwa sesungguhnya keberhasilan dalam melaksanakan sebuah hajat besar yang mengumpulkan hampir 1000 orang tersebut tergantung kepada beberapa hal untuk kesusksesannya seperti akomodasi, konsumsi, transportasi dan pelayanan kesehatan, jika hal ini dapat terpenuhi dengan baik maka dapat dipastikan acara tersebut 80% sudah ditangan kesusksesaannya. Dan hal ini yang terjadi di Jambore 1000 PTK-PNF yang pertama dan kedua, mari kita ucapkan selamat kepada Pemerintah yang telah melaksanakan event ini dengan lebih baik lagi, tapi secara substansi harus terus dikritisi.
Walau demikian ada beberapa hal yang perlu dikritisi atau dievaluasi dalam pelaksanaan Jambore ini baik secara substansi maupun secara umum. Seperti yang berulangkali dikatakan bahwa secara formal evaluasi sudah dilakukan terhadap Jambore ini, akan tetapi masih terdengar selentingan-selentingan dari pinggir jalan yang mungkin belum terakomodasi oleh evaluasi yang sudah dilakukan secara formal tersebut. Ada baiknya dicoba untuk mendengarkan selentingan-selentingan pinggir jalan atau evaluasi nonformal ini sebagai bahan masukan untuk kita semua ini.
Memang secara umum pelaksanaan Jambore 1000 PTK-PNF ini berlangsung dengan sukses bila dilihat dari rasa puas peserta yang sudah merasa terlayani dengan baik selama mengikuti kegiatan yang besar ini. Namun ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dengan baik bahwa tujuan awal dari Jambore PTK-PNF ini ternyata tidak banyak mengena sesuai dengan harapan yang diinginkan kepada grass root atau masyarakat bawah untuk sosialisasi dan pencitraan diharapkan. Ada yang mengatakan bahwa peserta yang mengikuti Jambore PTK-PNF di provinsi yang berasal dari kabupaten/kota tidak melalui seleksi yang ketat, ini juga mungkin terkait dengan jumlah anggaran untuk pelaksanaan kegiatan tersebut dari Pemerintah hanya berkisar 3 juta rupiah, sangat kecil dibandingkan dengan yang diberikan kepada provinsi berkisar sebesar 300 juta rupiah, hanya 1%. Padahal sesungguhnya para PTK-PNF itu yang terbanyak atau ujung tombaknya berasal dari kabupaten/kota bukan di provinsi. Ini juga memperlihatkan bahwa program pendidikan nonformal masih dilihat setengah mata oleh Pemerintah Daerah, karena masih sedikitnya dana sharing dari APBD untuk kegiatan ini baik di provinsi maupun kabupaten/kota, catatan pinggir jalan pertama.
Bahkan pelaksanaan Jambore PTK-PNF untuk tingkat nasional yang dilakukan setiap tahun ini sepertinya berkejar-kejaran dengan perayaan Hari Kemerdekaan RI, tanggal 17 Agustus, ini berhubungan dengan keterlambatan pencairan APBN atau APBD, sehingga alasan ini selalu dikatakan oleh pelaksana kegiatan bahwa waktunya terburu-buru. Bila ini terjadi maka yang akan menjadi permasalahan adalah kualitas atau tujuan secara substansi dari pelaksanaan Jambore tersebut yang tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan, ntah itu sosialisasi maupun pencitraan bahkan secara substansi program sekalipun. Malah bila ini diteruskan yang terjadi adalah akan membuat pencitraan PTK-PNF menjadi tidak baik dan tidak menyentuh masyarakat secara utuh.
Hal yang perlu diingat bahwa sebuah perlombaan manapun, apalagi di event nasional maka pesertanya diharapkan adalah orang-orang pilihan terbaik. Pemerintah Pusat bahkan sudah memberikan sebuah contoh bahwa Tim Jurinya berasal dari akademisi yang sudah capable atau bisa dipertanggungjawabkan, sehingga mereka yang dianggap pemenang itu betul-betul berkualitas, bukan asal tunjuk saja. Ini juga harapannya dengan pelaksanaan Jambore PTK-PNF di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota, sehingga pemenangnya dapat betul-betul menjadi icon bagi pendidikan nonformal kedepan karena sudah mengakar di masyarakat serta mampu menjadi sumber ilmu dan contoh bagi masyarakat pada umumnya tentang pendidikan nonformal tersebut. Inilah catatan pinggir jalan kedua.
Dari catatan pinggir jalan pertama dan kedua terdengar beberapa usulan dari pinggir jalan agar pelaksanaan Jambore ini dapat dilakukan secara bertahap ditingkat kabupaten/kota, provinsi dan nasional dengan masa waktu tidak 1 tahun akan tetapi dilakukan untuk 2 atau 3 tahun. Menurut mereka ditahun pertama agar pemerintah mengkhususkan untuk dapat mensukseskan Jambore ditingkat kabupaten/kota dan provinsi untuk kemudian tahun selanjutnya lebih mempersiapkan Jambore di tingkat nasional dengan lebih baik lagi kedepannya. Sehingga pelaksanaan Jambore ditiap tingkatan akan menjadi lebih baik secara kualitas baik tujuan maupun substansinya, persiapan juga menjadi lebih matang lagi dan sudah barang tentu gaungnya akan langsung sampai ke masyarakat yang paling bawah dan yang terpenting dapat menjadi lebih sakral atau bermakna lagi untuk event nasionalnya, tidak terkesan buru-buru atau hanya bersifat seremonial saja, ini kiranya dapat dijadikan sebagai catatan pinggir jalan ketiga.
Dasar orang pinggir jalan, mereka juga mengkritisi pelaksanaan Gebyar Jambore 1000 PTK-PNF untuk hal-hal yang terkecil, seperti penyusunan bangku bagi peserta Jambore yang tidak teratur per provinsi sehingga terkesan bahwa semuanya bercampur baur padahal Jambore ini merupakan ajang pembuktian diri mereka. Atau ruangan yang terlampau kecil bagi 1000 orang untuk berkumpul menjadi satu, atau siapa yang menjadi event organizernya, bahkan sampai dengan acara yang terlalu monoton tapi ada juga yang mengatakan bahwa karena ini pendidikan nonformal maka kesalahan-kesalahan yang terjadi bisa di maafkan, sungguh ini sebuah sindiran pinggir jalan yang hanya membuat kita semua agak tertegun sekaligus tertawa. Ini mungkin catatan pinggir jalan keempat, kelima…dst.
Akan tetapi satu hal yang patut disyukuri adalah mereka orang dipinggir jalan itu ternyata masih peduli dengan kemajuan program Jambore PTK-PNF. Yah, kritikan orang pinggir jalan terkadang memang memekakkan telinga akan tetapi bila didengarkan masukan mereka sebagai orang bebas akan menambah masukan-masukan yang maju bagi program ini.

Pembaharuan Program Kerja

Dalam perencanaan sesungguhnya pengembangan program itu harus berdasarkan rasionalisasi dan analisis situasi, dengan harapan program yang dilakukan dapat langsung mengenai sasaran yang diinginkan serta dampaknya akan menjadi lebih terasa. Yang menjadi permasalahan adalah selama ini program yang dilaksanakan oleh Pemerintah masih dirasakan belum mengena kepada sasaran dan kurang inovatif. Sudah barang tentu ini hanya akan merugikan negara dari sisi anggaran dan kebijakannya.
Pada level pusat atau nasional para perencana kita sudah mempunyai besaran-besaran analisis pendukung program yang akan dilakukan oleh mereka, akan tetapi bagaimana dengan di level kementrian, eselon I dan eselon II ? Semua rencana yang akan dilakukan itu biasanya ada pada Rencana Strategis pada suatu instansi. Yang menjadi permasalahannya adalah cara untuk menjabarkan program-program tersebut dalam sebuah kegiatan yang akan dilakukan, hal yang terbaik adalah semuanya harus dilakukan berdasar rasionalisasi dan analisis situasi.
Dapat diambil sebuah contoh, jika dalam sebuah Renstra terdapat program Pendataan, maka yang terbayang adalah cara untuk melakukan pendataaan, mitra dalam melakukan pendataan, alat pendataan, alur jadwal pendataan, sasaran yang akan didata dan lain sebagainya, yang kesemuanya mempunyai standar prioritas masing-masing. Selain standar prioritas tersebut yang harus dipikirkan juga adalah dampak yang akan terjadi ketika melakukan program tersebut baik untung maupun ruginya bagi pengembang program.
Sehingga ketika seseorang mempertanyakan rasionalisasi dan analisis sebuah program maka kita mempunyai alasan atau sesuatu yang dijelaskan untuk apa yang akan dilakukan itu, begitu juga halnya dengan program yang akan dilanjutkan atau program baru yang akan dilaksanakan. Apabila kita tidak dapat mempertahankan rasionalisasi dan analisis dalam melaksanakan sebuah program maka sudah barang tentu program tersebut tidak akan berjalan dengan baik atau tidak dapat dipertanggungjawabkan pelaksanaannya.
Selanjutnya yang terpenting lagi adalah bagaimana untuk dapat mengevaluasi dampak dari program yang sudah dikerjakan, ini menjadi amat penting disaat kita harus mempertanggungjawabkan kelanjutan dari program ini. Sebagai salah satu contoh, ketika sebuah instansi pemerintah melakukan diklat, maka harus diketahui dampak yang terjadi kepada mereka yang sudah dilatih atau apa yang akan mereka lakukan setelah mendapatkan pelatihan tersebut. Atau ketika instansi pemerintah melakukan kerjasama dengan sebuah organisasi maka agar dievaluasi dampak yang diakibatkan serta keuntungan buat instansi tersebut. Sudah banyak metode-metode evaluasi yang kiranya bisa digunakan oleh pemerintah untuk dapat melakuka studi dampak dari setiap program yang dilaksanakan.
Harapan kami semua kiranya pemerintah dapat membuat sebuah program yang menyentuh langsung kegunaannya bagi sasarannya (masyarakat) dan program yang inovatif demi kemashalatan kita semua.

Pendidikan ....

Tuhan telah memberikan akal bagi manusia
Yang meninggikan derajatnya dari makhluk Tuhan lainnya
Ayat Tuhan pertama mengatakan Bacalah...
Nabipun berkata tuntutlah ilmu walau sampai ke negeri Cina
UUD menyatakan bahwa pendidikan adalah hak setiap orang

Akan tetapi....keluarlah kata-kata....
Pendidikan adalah mahal....
Pendidikan bagi orang yang punya potensi saja
Masyarakat harus ikut menanggung biaya pendidikan
Negara tidak punya uang...semua penting.....
Negara hanya memfasilitasi saja...

Kemudian...
Departemen Pendidikan di tenggarai peringkat 2 untuk KKN
Masyarakat terbebani dengan biaya sekolah yang melangit
Anak miskin tak sanggup sekolah lagi
Moral bangsa hancur
Daya saing bangsa jeblok



Yang menangis...
Pahlawan bangsa yang gugur berkata ...
Apa arti kemerdekaan yang telah kuperjuangkan
Apa arti UUD yang telah kami rumuskan
Apa arti darah dan air mata yang kami tumpahkan
Bagai mana nasib anak cucu kami....
Dimana penghargaan kalian terhadap kami

Yang bersedih...
Setiap oang tua berkata....
Bagaimana nasib anakku kelak
Berapa besar biaya untuk anakku sekolah
Seperti apa pendidikan yang diberikan kepada anakku
Seperti apa guru yang akan mengajar putra-putriku

Yang hancur hatinya...
Anak-anak miskin berkata...
Kami tak sanggup sekolah
Tuhan telah mempermainkan nasib kami dengan kemiskinan
Pemerintah telah memperdayakan kami dengan janji-janjinya
Sekolah telah menghina kami dengan kebohongannya



Yang miris hatinya...
Alim ulama berkata...
Kebodohan adalah awal kesesatan
Kemiskinan adalah awal kekafiran
Oh.. Bagaimana moral bangsaku nanti....

Yang memandang sebelah mata
Bangsa lain akan melihat...bangsa yang bodoh...
Negara kaya akan tetapi penuh dengan kemiskinan
Negara berpotensi tapi penuh dengan kebodohan
Negara besar tapi penuh dengan orang berjiwa kerdil

Ibu pertiwi pun ikut menangis... dan berkata
”Oh, Tuhan bantulah anakku untuk berdiri
di atas kakinya sendiri”
Tuhan hanya tersenyum .... dan berkata....
”Aku tidak akan merubah nasib suatu kaum
jika kaum itu tidak merubahnya sendiri”

Cossalabu2007