“The Golden Age” atau “Usia Masa Emas” seorang manusia ketika ia berumur 0 – 6 tahun berdasarkan UU Sisdiknas Tahun 2003 atau 0 – 8 tahun berdasarkan dunia internasional. Sungguh masa penting ini tidak dapat tergantikan lagi apabila sudah terlewati, karena masa ini disebut dengan masa mempersiapkan segenap potensi fisik, akan maupun mental yang ada pada seorang manusia dengan sebaik-baiknya dan menghargai setiap keunikan per individu dari setiap insan.
PENDAHULUAN
Tahun 2005 UNESCO mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara yang angka partisipasi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) terendah di ASEAN, baru sebesar 20%, ini masih lebih rendah dari Fhilipina (27%), bahkan negara yang baru saja merdeka Vietnam (43%), Thailand (86% dan Malaysia (89%). Dan kesemunya ini semakin tampak dengan Human Development Index (HDI) Indonesia yang juga lebih rendah diantara negara-negara tersebut. Ini membuktikan bahwa pembangunan PAUD berbanding lurus dengan mutu dari sebuah negara yang terdiskripsikan dalam HDI.
Sedangkan Depdiknas dalam buku Pembangunan Pendidikan Nasional tahun 2007 menggambarkan bahwa Pemerintah telah berhasil meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) PAUD yang awalnya pada tahun 2004 adalah 39,09% maka pada tahun 2006 sudah mencapai 45,63% dengan target capaian pada tahun 2007 sebesar 48,07%, sudah barang tentu ini merupakan sebuah hal yang menggembirakan bagi pengembangan pendidikan anak usia dini. Kemudian disebutkan bahwa agenda-agenda yang akan dicapai pada tahun 2009 seperti pencapaian APK PAUD usia 2 – 6 tahun sebesar Akan tetapi perlu dikritisi untuk pencapaian 53,90% atau sekitar 10,05 juta orang kualitas dari layanan yang diberikan, bukan kepada kuantitas. Ini menjadi amat penting karena begitu dasarnya PAUD itu bagi seorang manusia dalam kehidupannya yang akan datang.
Pemerintah pada tahun 2001 telah mendirikan Direktorat khusus bagi PAUD yaitu Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia dibawah naungan Direktorat Jenderal Pendidikan Luar Sekolah (sekarang disebut Ditjen PNFI), Direktorat yang bertugas untuk melayani PAUD pada jalur pendidikan nonformal dan informal. Ini disebabkan karena sebelumnya untuk layanan yang diberikan kepada anak usia dini baru pada usia 4 – 6 tahun melalui pendidikan formal yaitu TK, sedangkan melalui jalur pendidikan nonformal dan informal msih belum ada. Pendidikan formal pada tahun 2000 hanya mampu menyerap 12,65% dari total usia tersebut dengan Guru TK hanya sebanyak 95.000 orang untuk memberikan pelayanan 1,6 juta anak usia dini. Sedangkan untuk sisa 0 – 4 tahun masih belum terlayani, oleh karena itu maka Pemerintah berinisiatif untuk mendirikan Direktorat PADU (saat ini disebut Dit. PAUD) yang bertugas untuk melayani anak usian dini yang berumur 0 – 4 tahun.
Perlu diingat, setiap anak itu mempunyai potensi yang unik ketika ia lahir di muka bumi ini, baik secara fisik (jasmani) maupun non fisik (akal, hati dan lain sebagainya), dan dari itu semua sesungguhnya kuncinya ketika anak tersebut berumur 0 – 6 tahun, seperti yang tertuang dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas pada pasal 28. Bahkan dalam pasal tersebut juga dijelaskan ada 4 (empat) unsur yang harus dipenuhi dalam pengembangan anak usia dini yaitu: pertama, pembinaan anak usia dini merupakan pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun. Kedua, pengembangan anak usia dini dilakukan melalui rangsangan pendidikan. Ketiga, pendidikan anak usia dini bertujuan untuk dapar membantu pertumbuhan dan pengembangan jasmani dan rohani (holistik). Dan keempat, pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan persiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.
Untuk bidang SDM dalam pengembangan PAUD ini dijabarkan dalam PP Nomor 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan pasal 29 yang menjelaskan bahwa standar minimal bagi Pendidik PAUD adalah D-IV atau Sarjana dengan latar belakang pendidikan PAUD, psikologi atau pendidikan lainnya yang telah bersertifikasi profesi guru untuk PAUD. Yang kesemuanya merupakan bentuk perhatian Pemerintah betapa pentingnya PAUD bagi bangsa ini.
PEMBAHASAN
PAUD Kunci Pembangunan Insan
Dalam rangka untuk dapat memberikan hal yang terbaik bagi anak bangsa saat fase pertumbuhan seorang manusia ketika berumur 0 – 6 tahun, menjadi teramat penting bagi setiap insan yang sering kali disebut dengan “masa emas” atau “the golden age”, masa tersebut seorang anak harus dipersiapkan “wadah” yang mampu untuk menampung setiap materi, ilmu atau pemikiran dengan mumpuni baik secara jasmani, mental maupun pikirannya dengan semaksimal mungkin untuk menghadapi setiap persoalannya di masa yang akan datang dalam hidupnya kelak.
Menurut hasil penelitian neuroscience menunjukkan bahwa kehidupan intelektual bersumber dari otak manusia. Oleh karena itu bila kita mengatakan bahwa ekspresi dan bentuk prilaku merupakan cerminan dari seseorang maka perkembangan otak pada masa emas tersebut harus betul-betul diperhatikan.
Dalam sebuah penelitian, Bloom mengatakan bahwa pengembangan intelektual seorang anak sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan anak. Sekitar 50%, variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi sejak anak berumur 4 tahun, peningkatan mutu 30% selanjutnya terjadi masa usia 4 – 8 tahun dan sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua atau ketika usia 8 – 15 tahun. Bloom juga mengatakan bahwa umur 0 – 4 tahun merupakan masa-masa penting pertama terhadap kaya miskinnya lingkungan sekitar yang menstimulasi perkembangan intelektuak masnusia. Bahkan selbih jauh ia menjelaskan bahwa ini berpengaruh pada perkembangan IQ dengan perbandingan bahwa lingkungan dengan stimulasi yang kaya akan menambah 10 unit IQ dari pada yang miskin ketika berumur 0 – 4 tahun., kemudian sekitar 6 unit IQ ketika berumur 4 – 8 tahun.
Salah seorang ahli Carla Shaz mengatakan bahwa masa kritis pengembangan tumbuh kembang anak mencakup 5 (lima) hal, yaitu: pertama¸pengembangan penglihatan ketika berumur empat tahun pertama. Kedua, pengembangan perasan emosi sejak umur 2 (dua) bulan sampai mulai berkembang perasaan stress, kepuasan, girang dan sedih. Sedangkan perasaan iri dan empati baru berkembang pada usia 3 (tiga) tahun. Pada masa-masa ini pengasuhan yang penuh kasih sayang, pemenuhan nutrisi dan perawatan kesehatan merupakan persyaratan mutlak bagi pertumbuhan emosi anak. Dan perlu diingat bahwa pada masa ini juga setiap setiap peristiwa yang tidak mengenakkan atau traumatik akan berpengaruh pada keseimbangan emosi yang kemudian berhubungan dengan perkembangan kecerdasan dan empati. Ketiga, perkembangan kemampauan bahasa, sudah dimulai sejak dalam kandungan, ketika berumur 1 (satu) tahun sudah terbentuk “peta perseptual” untuk dapat mengetahui perbedaan suara atau fonem yang diucapkan dan perkembangan ini ditentukan dengan seberapa banyak anak diajak bicara atau mendengarkan. Keempat, kemampuan gerak anak, masa kritis pengembangan gerakan berlangsung sejak lahir sampai umur 2 tahun, sedangkan masa perkembangan motorik kasar berlangsung hingga berumur 4 tahun. Kelima, perkembangan kemampuan musik, masa kritis pengembangan musik ketika berumur 3 s.d. 10 tahun, hasil penelitian Mozart membuktikan bahwa rangsangan musik sejak dini akan membina pengembangan di bidang visiospatial, matematika dan logika.
Dari beberapa penelitian para ahli ini sudah dapat diketahui betapa pentingnya PAUD bagi setiap orang yang dilahirkan di muka bumi ini, padahal masih banyak penelitian-penelitian para ahli lainnya baik dari sisi gizi, psikologi, dan lain sebagainya yang belum disosialisasikan. Semuanya semakin terlihat ketika diketahui bahwa ternyata HDI Indonesia masih dibawah negara-negara lain yang sudah berhasil dengan lebih baik memberikan layanan PAUD.
Dilema Perkembangan PAUD di Indonesia
Namun, menjamurnya pendidikan anak usia dini melalui pendidikan nonformal mengakibatkan tidak terkontrolnya penanganan terhadap anak-anak usia dini dengan baik, padahal masa emas tersebut merupakan masa-masa yang teramat penting dan tidak dapat datang untuk yang kedua kalinya dalam pembentukan otak, fisik dan jiwa seorang anak.
Hal ini menjadi semakin buruk lagi karena perubahan kebudayaan atau kebiasaan hidup ketika zaman kakek-kakek kita dahulu yang lebih mementingkan kebersamaan dalam sebuah komunitas, sehingga tumbuh kembang anak menjadi baik dengan sendirinya oleh berbagai rangsangan ketika mereka berinteraksi dengan komunitasnya untuk dapat memberikan rasa kasih sayang seutuhnya. Saat ini budaya kita lebih cenderung menjadi individualistik, terbukti dengan banyaknya anak-anak kita yang seolah-olah hanya dirangsang dengan “maaf” didikan seorang pembantu, sebagai pengganti ibu-ibu yang bekerja membantu pencarian hidup keluarganya. Permasalahannya orang-orang tersebut atau pembantu belum mengerti betul tentang tumbuh kembang anak bahkan mereka juga tidak mengandung selama 9 bulan sebagai bentuk pembelajaran alam kepada seorang ibu, kasarnya tidak mempunyai hubungan batin yang kuat yang bisa memberikan kasih sayang seutuhnya.
Akibat perubahan pola hidup ini mengakibatkan perubahan pertumbuhan AUD, yang berdampak kepada semakin berkurangnya stimulasi-stimulasi awal yang amat dibutuhkan seorang anak pada masa emas tersebut. Sesungguhnya masa terpenting ini adalah merupakan tanggungjawab dari pendidikan keluarga bukan nonformal maupun formal, dan ini pada dasarnya merupakan sebuah kebutuhan dasar manusia. Akan tetapi dengan kenyataan tersebut diperlukan sebuah pendidikan awal yang diberikan oleh Pemeritah melalui pendidikan nonformal yang saat ini sudah dilakukan atau paling tidak segera mensosialisasikan dengan baik kepada masyarakat tentang pentingnya PAUD tersebut serta hal yang harus dilakukan agar dapat menyelamatkan generasi penerus bangsa ini sehingga mampu mempunyai daya saing tinggi atau paling tidak mampu menghadapi kehidupannya kelak dengan sebaik-baiknya dengan segala potensi yang telah terbangun dengan baik.
Saat ini pengembangan PAUD di Indonesia telah menimbulkan dilema, upaya untuk dapat memberikan pelayanan PAUD kepada setiap anak yang ada di Indonesia, akan tetapi banyak hal yang tidak dapat dipenuhi dengan semestinya. Dan ini bisa menyebabkan perkembangan anak yang tidak optimal sesuai dengan keinginan yang dituju, malah akan lebih membahayakan bila tidak ditangani secara cepat dan tepat karena semua ini berhubungan persiapan segenap potensi yang ada guna dapat membangun seorang insan manusia dalam mengarungi kehidupannya kelak.
Pertama, sesuai dengan PP 19 maka seluruh Pendidik PAUD minimal adalah strata satu. Permasalahannya bagaimana mungkin dapat membuat S1 semua Pendidikan PAUD sejumlah 359 ribu orang (sumber data dari Ditjen PMPTK) orang untuk dapat melayani 28 juta orang anak usia dini. Bahkan persoalan selanjutnya adalah bahwa ternyata hampir sebagian besarnya merupakan lulusan dari SMP dan SMA, hanya sebagian kecil S1. Atau permasalahan selanjutnya adalah sedemikian pentingkah kualifikasi tersebut bagi seorang Pendidik PAUD ? Bahkan Prodi untuk khusus Jurusan PAUD hanya sedikit di Indonesia, bisa dihitung dengan jari, bagaimana mungkin dapat dikejar semuanya mengingat masa-masa emas anak-anak tersebut tidak bisa dihentikan waktunya. Berbeda dengan perencanaan Pemerintah yang memberikan waktu 10 tahun untuk mencapai PP tersebut. Sungguh ini amat berbahaya bila tidak secepatnya dicarikan upaya bagi anak-anak yang kita cintai itu.
Kedua, pembangunan kompetensi SDM dari Pendidik PAUD sebagai ujung tombak pengajar bagi anak-anak kita. Ini juga tidak boleh dilakukan setengah-setengah karena merekalah yang nanti akan membentuk anak-anak kita menjadi seperti apa kelak. Bila diharapkan dapat meningkatkan kompetensi mereka melalui diklat-diklat, maka pertanyaannya adalah seberapa baik kualitas dari diklat tersebut ? Seberapa banyak pemerintah mampu melakukan diklat terhadap Pendidik PAUD ? Bagaimana Pemerintah mampu untuk dapat melakukan percepatan dalam meningkatkan kompetensi mereka saat ini ?
Ketiga, aspek keibuan secara mental seorang pendidik PAUD, mereka pada dasarnya mereka belum mengerti aspek kejiwaan seorang anak secara kejiwaan karena mereka tidak mengandung atau mengerti rasanya mempunyai seorang anak. Sedangkan dari diklat mereka baru mengetahui tentang kemampuan membaca dan menulis atau kemampuan motoriknya juga aspek kejiwaan dari seorang anak secara teoritis. Sebagai ilustrasi seorang ibu yang diberikan hak asuh oleh Tuhan harus selama 9 (sembilan) bulan mengandung anaknya, waktu tersebut paling tidak akan memberikan pembelajaran kepada seorang wanita tentang arti mendidik seorang anak, seperti kesabaran, mengerti anak, psikologi anak, dan lain sebagainya dengan secara naluriah. Dapat dibayangkan ketika mengatakan bahwa pendidikan anak usia dini merupakan masa-masa penting dalam kehidupan seorang manusia baik untuk perkembangan otaknya, perkembangan motriknya bahkan perkembangan mentalnya, kita malah tidak memperhatikan SDM dari anak-anak kita yang mendidik anak kita, apakah ini tidak malah membahayakan tumbuh kembang anak kita ? Sudahkah dalam diklat-diklat tersebut diberikan sentuhan tentang arti sebagai Ibu bagi Pendidik PAUD? Sungguh kesemua ini membuat kita kuatir apabila tanpa ada perbaikan-perbaikan pendidikan anak usia dini kita diserahkan kepada mereka.
Keempat, kecilnya insentif yang diberikan kepada Pendidik PAUD, bahkan dibeberapa wilayah ada yang dibayar dengan menukarkan dengan beras, sayur mayur, dsb. Bahkan Pemerintah melalui Dit. PTK-PNF sampai saat ini baru bisa memberikan insentif sebesar 600 ribu per tahun, itu pun tidak semua Pendidik PAUD, masih amat terbatas. Bagaimana mungkin mereka dapat mendidik anak-anak kita dengan baik, mereka sendiri sedang dalam kesulitan dalam hidupnya, ironis bukan.
Kelima, tersebarnya penanganan PAUD dalam berbagai instansi Pemerintah menyebabkan kurangnya koordinasi dengan baik, sehingga penanganannya terkadang menjadi tidak fokus atau bias atau tidak berkesinambungan. Ada baiknya Pemerintah menyatukan keseluruhannya sebagai bentuk perhatian terhadap PAUD dengan membentuk Direktorat Jenderal khusus yang menangani PAUD ini. Sehingga semua bentuk program atau kegiatan akan terkoordinasi dengan baik dan dapat melakukan sebuah perencanaan yang lebih matang serta percepatan-percepatan untuk membangun PAUD ini.
Keenam, saat ini Pemerintah sepertinya lebih mengutamakan untuk dapat melayani anak usia dini sebanyak-bannyaknya atau berdasarkan kuantitas bukan kepada kualitas. Hal ini sesungguhnya sangat berbahaya karena pendidikan itu bukan sebuah pembangunan insan secara utuh, jadi sesungguhnya kedua-duanya tidak dapat dipisahkan. Jangan samakan pendidikan dengan kemiskinan, perbedaan keduanya amatlah besar, Tuhan menciptakan manusia semuanya mempunyai akal karena inilah perbedaan antara manusia dengan makhluk lainnya. Sedangkan kemiskinan merupakan sebuah skenario Tuhan bagi hambanya untuk berkehidupan di bumi ini, sampai kapanpun kemiskinan itu tidak akan pernah hilang dari muka bumi ini karena merupakan bagian dari realita kehidupan manusia sebagai makhluk sosial. Ketika melakukan penanganan orang-orang miskin dengan lebih memilih kuantitas daripada kualitas kehidupannya, ini sah-sah saja dalam artian standar minimal kebutuhan seorang manusia untuk kehidupannya secara fisik sudah dapat diukur dengan baik. Apakah hal ini juga yang ingin kita lakukan terhadap anak-anak kita ? Padahal jelas bahwa setiap anak itu mempunyai keunikan dan bakat tersendiri per individunya. Bila ini terus dilakukan maka yang terjadi adalah sebuah pemasungan perkembangan insan seorang manusia yang telah diberikan haknya oleh yang Maha Kuasa.
Ketujuh, keberhasilan yang dilakukan dengan PAUD Pendidikan NonFormal tersebut ternyata berdampak dengan adanya sebutan “saling berebut lahan”, demikian sebutannya ketika adanya kecemburuan antara penanganan PAUD melalui formal, melalui TK, dengan penaganan PAUD melalui pendididikan nonformal seperti Kelompok Bermain, Tempat Penitipan Anak, dsb. Salah satu penyebabnya adalah karena program PAUD yang dilaksanakan oleh Dit. PAUD biayanya tidak mahal dibandingkan dengan program PAUD pada pendidikan formal bahkan sering kali gratis. Ini tidak terlepas dari curahan anggaran yang diberikan kepada PAUD NonFormal yang demikian luas tersebar dan cukup besar jumlahnya, walau tidak memperhatikan betul-betul standar-standar yang harus dipenuhi seperti jalur formal. Faktor yang lain adalah bahwa sifat dari pendidikan nonformal ini menyebabkan setiap lapisan masyarakat yang peduli dan simpati dengan PAUD akan berlomba-lomba untuk dapat melaksanakannya, bahkan sebagian karena perhatian mereka terhadap komunitas mereka, demi masa depan anak cucu mereka mereka.
Inilah yang dinamakan dengan dilema, dimana kita amat sangat mengetahui bahwa PAUD itu teramat penting dan paling berharga dalam kehidupan seorang manusia sehingga sesungguhnya amatlah riskan apabila tidak ditangani oleh orang-orang yang profesional dan betul-betul mengetahui ilmu tumbuh kembang anak. Namun bila ini harus dipenuhi maka semakin tidak terlayani pendidikan anak usia dini yang ada di Indonesia karena keterbatasan SDM bahkan mungkin juga sarana prasarana atau anggaran. Sungguh sebuah permasalahan yang benar-benar harus segera ditangani dengan cepat dan tepat berkenaan dengan dampaknya bagi penerus bangsa yang kita cintai ini dalam kehidupannya di masa yang akan datang.
Membangun Insan Kamil
Demi menuju Visi Depdiknas, yaitu “Menuju Insan Indonesia Yang Cerdas dan Kompetitif”, maka PAUD merupakan sebuah kunci pembangunan dalam membangun seorang insan, sehingga tidak bisa dianggap sebelah mata atau setengah-setengah karena akan berdampak kepada pembangunan secara keseluruhan diri seorang manusia, baik itu akal, fisik maupun jiwanya. Masa terpenting dalam pembangunan karakter seseorang sudah dimulai sejak dalam kandungan sampai dengan umur 8 tahun menurut dunia internasional atau 6 tahun menurut UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jadi ketika dipertanyakan mana yang lebih penting dalam memberikan layanan kepada anak usia dini, kuantitas atau kualitas, maka kedua-duanya harus berjalan secara bersamaan dengan kesungguhan-kesungguhan dan sinergi antara Pemerintah dan masyarakat. Karena apabila lebih mementingkan kuantitas dari pada kualitas maka hasilnya adalah anak-anak kita yang tidak bisa bersaing dengan anak-anak lain, mereka banyak akan tetapi selalu kalah dengan anak-anak yang baik secara kualitas dalam mendapatkan PAUD, ini tentu tidak kita harapkan.
Hal yang terpenting lainnya adalah peningkatan mutu dari Pendidik PAUD, Pemerintah harus segera dapat memetakan kemampuan dari seluruh Pendidik PAUD baik dari sisi kompetensi maupun kualifikasi sehingga mereka tidak bekerja dengan sembarangan, juga berkaitan dengan hal-hal uang harus dilakukan kelak untuk dapat meningkatkan kualitas mereka. Sekali lagi nasib anak-anak kita berada di bawah tangan mereka. Selajutnya setiap Pendidik juga harus mampu memetakan kemampuan dari masing-masing individu seorang anak yang masing-masing mempunyai keunikan, juga ini akan berdampak dalam percepatan pembangunan SDM di Indonesia.
Untuk dapat melakukan percepatan maka Pemerintah harus segera dapat membangun berbagai bentuk kemitraan antara Pemerintah dengan Pemerintah, Pemerintah dengan masyarakat melalui LSM atau Orsosmasnya dan Pemerintah dengan Keluarga atau satuan unit terkecil pada masyarakat. Saat ini yang sering terlupakan oleh Pemerintah adalah membangun PAUD pada tataran keluarga atau secara informal, padahal jalur ini sesungguhnya mempunyai peluang yang besar dalam melakukan percepatan untuk pengembangan PAUD ditengah keterbatasan Pemerintah. Selain itu bahwa ternyata perkembangan seorang anak yang berumur 0 – 4 tahun itu ternyata lebih banyak di dalam keluarganya, sehingga dibutuhkan sebuah pendiddikan bagi keluarga tentang pentingnya PAUD dan apa yang harus diperhatikan dalam tumbuh kembang seorang anak.
Namun demikian, ini juga memerlukan keseriusan dalam melaksanakannya karena sasarannya yang demikian luas, juga status sosial mereka yang berbeda, tingkat pendidikan mereka yang berbeda, dan lain sebagainya. Tapi bila program ini berhasil maka sudah pasti akan menyebabkan percepatan yang cukup signifikan.
Sosialisasi merupakan hal yang terpenting guna memberikan penjelasan kepada masyarakat secara luas tentang pentingnya PAUD, serta hal minimal yang harus diketahui untuk dapat dilakukan oleh masyarakat bagi anak-anaknya. Baik itu melalui media cetak, elektronik maupun teknologi informasi.
Ini juga sebagai upaya untuk dapat mengejar ketertinggalan dari layanan PAUD yang saat ini begitu menyebar tapi tanpa memperhatikan isi dari pembelajarannya dengan sebaik-baiknya, bahkan jika perlu pembelajaran PAUD ini dapat diketahui tidak saja oleh Pendidik PAUD akan tetapi seluruh komponen masyarakat, karena sudah barang tentu mereka amat manyayangi anak-anak mereka. Jangan sampai PAUD ini hanya menjadi milik salah satu orsosmas, atau salah satu Direktorat pada Pemerintah, tapi jadikan dia sebagai milik bangsa ini.
Dan terakhir, pembentukkan unit eselon I untuk mengelola PAUD juga dirasakan amat penting dan harus secepatnya dapat dilakukan untuk mempermudah koordinasi dan kesinambungan program yang dilakukan karena saat ini tidak hanya Depdiknas yang mempunyai program bagi PAUD tetapi tersebar juga pada instansi lain. Departemen Kesehatan dengan program fasilitasi kesehatan gizi seorang anak, Departemen Sosial dengan program kesejahteraan anak, dan Departemen Agama memberikan program untuk dapat memfasilitasi PAUD pada lembaga-lembaga Agama, serta kesemuanya memerlukan sebuah koordinasi untuk dapat melakukan percepatan pengembangan PAUD.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar