Kamis, 11 Desember 2008

Pentungnya Peran Guru Dalam KTSP dan UN

Sesungguhnya dalam setiap kelulusan harus mempunyai sebuah standar kelulusan, ini merupakan sebuah cara untuk mengetahui kualitas dari lulusannya. Pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara untuk mendapatkan sebuah evaluator dalam mengetahuinya. Dan ini merupakan hal penting yang tidak bisa tidak harus dilakukan. Walau untuk menuju kesana diperlukan sarana pendukungnya, namun alangkah baiknya ini jangan dijadikan alasan akan tetapi dibiarkan berjalan secara bersamaan. Kesemuanya guna melakukan percepatan dalam sebuah pendidikan. Dan yang terpenting adalah bagaimana Guru dan culture adalah kunci menuju peningkatan mutu pendidikan.
Saat ini Depdiknas dalam membuat aturan-aturan memang terkesan terlalu futuristic atau prospectif, dalam artian terkadang tidak melihat kondisi real di lapangan.
Namun demikian, Depdiknas juga sudah memberikan aturan-aturan pendukung untuk proses berjalannya aturan yang telah ditetapkan sebelumnya. Sekarang tinggal bagaimana daerah dapat mensikapinya, karena aturan-aturan atau program yang dikeluarkan tentunya sudah berasal dari orang-orang ahli baik dalam dan luar negeri yang peduli dengan pendidikan di Indonesia.
Depdiknas juga mengetahui betul bahwa zaman desentralisasi ini peran dari Pemerintah Daerah adalah yang paling besar, sejauh mana mereka memberikan sumbangsih bagi pendidikannya. Dapat dibayangkan bahwa kenaikkan anggaran menjadi 20% dari APBN pada Departemen Pendidikan Nasional sebagian besar diperuntukkan untuk tunjangan Guru dan kenaikkan BOS.
Yang terjadi saat ini adalah Pemerintah Daerah yang kurang memperhatikan pendidikan, hal ini bisa dilihat dari anggaran Pendidikan, nasih sedikit yang mengalokasikan anggaran pendidikan sebanyak 20%, mereka lebih mementingkan factor lain. Ironisnya lagi mereka ternyata hanya mengharapkan bantuan dari Pusat saja khususnya untuk bidang pendidikan.
Kemudian masalah mental juga menjadi amat penting, dengan berbagai kecurangan yang hanya menginginkan tingkat kelulusan yang tinggi, membuat Guru menjadi seperti maling bukan seperti seorang Pendidik. Bila ia seorang Pendidik tentunya bukan cara seperti itu untuk meninggikan target kelulusan, atau jika memang protes juga bukan dengan cara seperti itu, dengan cara yang elegan dan holistic. Ini semua menunjukkan bahwa kemampuan dari Guru di Indonesia memang amat rendah.

Ujian Negara (1945-1969)
Ujian Negara dianggap unggul dalam mengendalikan standar mutu lulusan. Siswa yang lulus mutunya benar-benar bagus. Namun, pada era akhir 1960-an, banyak ahli pendidikan yang mengkritik bahwa kegiatan penilaian dan penentuan kelulusan siswa merupakan hak pedagogis guru. Alasannya, guru paling tahu materi yang diajarkan dan keragaman kemampuan siswa dalam menyerap bahan ajar.
Bahkan para ahli pendidikan saat itu juga menilai standar tinggi Ujian Negara hanya sah diberlakukan bila seluruh sarana dan prasarana sekolah sama atau memenuhi standar kelayakan minimal. Karena saat itu masih banyak sekolah yang amburadul, maka cukup banyak siswa dari sekolah ”kelas bawah” tidak lulus. Sehingga dapat dikatakan bahwa Ujian Negara tidak sejalan dengan rasa keadilan dalam pendidikan.

Ujian Sekolah (1970-1982)
Model penilaian Ujian Sekolah ini merupakan kebalikan total dari Ujian Negara. Penyelenggara ujian adalah sekolah, sehingga penentuan kelulusan sepenuhnya menjadi otoritas sekolah. Otoritas yang terlalu penuh kepada sekolah dengan tidak mengikutsertakan Pemerintah ternyata juga membuat terjadinya banyak ketimpangan-ketimpangan. Otonomi penuh sekolah dalam menyelenggarakan ujian akhir dan menentukan kelulusan, justru menjadikan sekolah seenaknya memberi nilai kepada siswa-siswanya. Sehinga siswa gampang sekali lulus, bahkan lulus 100%, akibat penilaian objektif ditinggalkan untuk menjaga nama sekolah. Sehingga dapat dibayangkan semakin runyamnya mutu kelulusan pada saat itu.
Kembali yang terjadi adalah maraknya kembali praktik penggelembungan (mark up) nilai ijazah. Nilai ijazah tinggi-tinggi, namun tidak mencerminkan mutu lulusan yang sesungguhnya. Guru dan murid seolah-olah tidak mempedulikan mutu dari pendidikan, semakin memblenya pembelajaran yang dilakukan karena mereka mengetahui betul hak otonom mereka dalam menentukan kelulusan, yang menimbulkan praktek-praktek yang semakin menghancurkan dunia pendidikan. Akibatnya masyarakat saat itu sangat risau melihat anjloknya mutu lulusan sekolah.

Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (1983-2002)
Model EBTANAS merupakan perpaduan antara Ujian Negara dan Ujian Nasional. Untuk Ujian Negaranya dimanifestasikan dengan Nilai Ebtanas Murni (NEM), yang hanya terdiri dari beberapa pelajaran yang dujikan secara nasional, akan tetapi bukan sebagai penentu kelulusan namun hanya sebagai seleksi untuk melanjutkan sekolah pada jenjang selanjutnya. Sedangkan kelulusan sesungguhnya tetap ditentukan oleh sekolah karena nilai penentu kelulusan adalah gabungan NEM dan nilai catur wulan (cawu)/semester I dan II.
Model EBTANAS merupakan perpaduan dari sistem Ujian Negara dan Ujian Sekolah. Dengan kata lain, pemerintah dan sekolah sama-sama berperan dalam penyelenggaraan ujian akhir maupun penentuan kelulusan siswa. Mata pelajaran yang diujikan secara nasional ada enam sampai tujuh. Sisanya, berupa ujian sekolah. Hasil dari mata pelajaran yang diujikan secara nasional itu disebut Nilai Ebtanas Murni (NEM). NEM tidak menentukan kelulusan siswa. NEM hanya berguna untuk seleksi pada jenjang pendidikan di atasnya. Penentuan kelulusan tetap di tangan sekolah. Nilai akhir ijazah penentu kelulusan merupakan gabungan NEM dan nilai catur wulan (cawu)/semester I dan II. Permasalahannya adalah dalam rumus kelulusan, yang merupakan nilai rata-rata dari penjumlahan nilai cawu semester I, semester II dan NEM. Perbandingan kelulusan adalah 2 berbanding 1, pihak sekolah mempunyai pengaruh yang lebih besar dari pada NEM. Kembali yang terjadi adalah penggelembungan nilai dan praktek-praktek yang memuakkan hanya untuk menjadikan murid menjadi lulus dan menjaga nama sekolah tersebut. Malah ini menjadi semakin berbahaya karena nilai-nilai proses pendidikan yang dilakukan oleh sekolah semakin tidak objektif, padahal pakar pendidikan mementingkan proses ini.

UAN/UN (2003-sekarang).
Sistem Ujian Akhir Nasional (UAN), yang sejak tahun 2005 disempurnakan dan berganti nama menjadi UN. Sebagaimana EBTANAS, model UAN/UN ini prinsipnya juga memadukan sistem Ujian Negara dan Ujian Sekolah. Tetapi, di antara keduanya terdapat perbedaan sangat mendasar menyangkut penentuan kelulusan siswa. Pada sistem UAN/UN, nilai mata pelajaran yang diujikan secara nasional ikut menentukan kelulusan siswa, bukan lagi sebagai penyempurna seperti pada EBTANAS yang dapat diakali dengan nilai dari Guru untuk mendongkrak nilai akhir kelulusan. Sekolah tidak bisa main-main atau mengutak-atik nilai. Walaupun mereka mengatrol nilai cawu atau semester, tidak ada gunanya, karena nilai UN/UAN harus bisa terpenuhi terlebih dahulu. Pada sistem ini, fungsi penilaian sebagai pengendali mutu lulusan berhasil diterapkan.
Model UAN/UN yang ketat itu memaksa siswa, guru, dan sekolah bekerja keras untuk mencapai hasil terbaik. Namun, kembali praktik-praktik kotro dilakukan oleh pihak sekolah untuk dapat mengejar tuntutan nilai yang baik dari siswanya. Seperti melonggarkan pengawasan dalam pelaksanaan UN, atau bahkan membantu siswa dalam mengerjakan soal-soal UN. Berbagai faktor mempengaruhi mereka melakukan ini, salah satunya adalah tuntutan dari pimpinan mereka dan ancaman terhadap jabatan mereka, baik itu Kepala Sekolah maupun Kepala Dinasnya.
Nah, ketika ditelaah ternyata hal yang menyebabkan kegagalan dari berbagai system ini adalah karena moral Guru kita yang sudah hancur, bahkan moral bangsa kita yang sudah amat mundur. Semua kegagalan lebih kepada Guru yang tidak mempunyai nilai-nilai dan tujuan yang holistic dalam bekerja.
Adalah benar jika dikatakan untuk mencapai UAN/UN tersebut hendaknya terlebih dahulu memenuhi 8 standar pendidikan yang ada dalam UU Nomor 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang dijabarkan dalam PP 19/2005 tentang Standar Pendidikan Nasional. Dan Pemerintah sekarang sedang berupaya menuju kesana secara sistematis dan bertahap serta terukur.
Akan tetapi ditengah upaya kesana tetap harus ada pengontrolan terhadap lulusan, demi menjaga pendidikan itu sendiri serta mengembalikan moralitas pendidikan kepada setiap komponennya. Hal yang terpenting pada saat tersebut adalah sebuah pengawasan yang harus diperketat dan ada baiknya ini semua harus dibantu oleh masyarakat untuk turut serta.

KTSP
Seperti halnya dengan sejarah panjang Ujian Negara maka ini begitu juga terjadi dengan sejaraha kurikulum pada pendidikan di Indonesia. Hal yang menarik adalah bahwa KTSP ini merupakan era baru, dari kurikulum yang bersifat nasional menjadi kurikulum yang berbasiskan satuan pendidikan.
Harapan dari KTSP ini adalah akan lahir kurikulum-kurikulum berbasis lokal yang sesuai dengan kebutuhan lokal dan dihasilkan oleh orang-orang lokal dengan mengacu kepada standar-standar nasional yang dibuat Pusat. Namun hal ini berimpilikasi kembali dengan kemampuan seorang Guru untuk membuat KTSP, seorang Guru harus mampu melakukan inovasi dalam membuat kurikulum sesuai dengan kebutuhan murid dan sekolahnya tersebut.
Kurikulum ini juga merupakan salah satu hasil kurikulum lebih baik dibanding pendahulunya yang pernah di keluarkan Depdiknas, sekaligus kembali bersifat prospectif bila dibandingkan dengan kurikulum-kurikulum yang lain. Sebagai contoh ketika kurikulum pertama kali dikeluarkan yaitu pada tahun 1947, yang disebut dengan Rencana Pembelajaran yang isinya lebih mementingkan kepentingan Belanda dibandingkan dengan kepentingan rakyat Indonesia. Kemudian pada tahun 1952 dan tahun 1964 pada masa orde lama yang masih belum sempurna kurikulumnya bahkan masih terkesan premature.
Terlebih lagi pada permulaan masa orde baru pada tahun 1968 yang kurikulumnya berisikan bagaimana menjadi seorang manusia Pancasila sejati. Lantas tetap di era Orde Baru pada tahun 1975 keluarnya kurikulum Prosedur Pengembangan Sistem Indtruksional (PPSI) yang lebih dikenal dengan Kurikulum berbasis satuan pelajaran, namun ini mendapatkan banyhak kritikan karena Guru disibukkan menuliskan rincian apa yang dikerjakan dalam setiap kegiatan pembelajaran.
Sedikit berbeda pada tahun 1984 keluar kurikulum yang berbasis process skill approach. Siswa ditempatkan sebagai subjek belajar dari mulai pengamatan, pengelompokkan, diskusi hingga melaporkan atau sering disebut dengan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA). Namun dalam perjalanannya kurikulum ini juga tidak dapat direalisasikan seperti keinginan awalnya, karena seringkali terjadi banyak kesenjangan dan kurangnya pemahaman dari Sekolah. Guru yang tidak lagi melakukan metode ceramah kepada siswanya, namun belum bisa menguasai para siswanya dalam pembelajaran siswa aktif tersebut. Sehingga berujung kepada penolakkan dari model CBSA ini.
Lain lagi dengan kurikulum 1994 yang menggantikan kurikulum 1984 yang berupaya memadukan dari kurikulum-kurikulum sebelumnya, yang berupaya untuk mengkombinasikan antara kurikulum 1975 dan 1984, sehingga menimbukan sebuah kurikulum yang super padat, karena semua aspek komponen baik lokal dan Pusat dimasukkan kedalam kurikulum tersebut.
Ketika kurikulum ini berjalan timbullah tragedi 1998, krisis ekonomi 1998 yang menjatuhkan Soeharto sekaligus menandakan berakhirnya Orde Baru. Yang juga melahirkan kurikulum baru yang bernama Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) pada tahun 2004. Jiwanya adalah setiap pelajaran diurai berdasarkan kompetensi apa yang mesti dicapai oleh siswa. Namun kerancuan muncul ketika akan mengukur kompetensi siswa, bila ini dilakukan maka tidak bisa lagi menggunakan alat ukur dengan menggunakan pilihan ganda akan tetapi tentunya menggunakan praktek yang mampu mengukur seberapa besar pemahaman dan kompetensi siswa. Kembali hal ini terbentur pada kemampuan Gurunya yang tidak memahami masalah pengukuran ini, karena hasil yang tidak memuaskan program ini dihentikan pada tahun 2006. Yang kemudian dilanjutkan dengan KTSP tersebut.
Di era otonomi pendidikan ini, pemerintah menggulirkan kebijakan yang sama sekali berbeda di masa silam. Berakhirnya KBK ditandai pula dengan dicabutnya penerapan kurikulum nasional. Inilah era Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP). KTSP ditetapkan pada 23 mei 2006, berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 22/2006 tentang Standar Isi Pendidikan dan Permendiknas No 23/2006 tentang Standar Kompetensi Kelulusan.
KTSP menghendaki kurikulum disusun dan dikembangkan sendiri oleh sekolah. Depdiknas dan Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), lembaga yang tugasnya, antara lain membuat kurikulum, hanya memberikan kisi-kisi materi yang akan diujikan secara nasional.
Pemerintah hanya membuat standar-standar nasional sedangkan isi kurikulum dibuat oleh Sekolah. Guru diberikan kebebasan mengembangkan indikator penilaian dan materi pokok sesuai dengan karakteristik daerah, lingkungan dan peserta didik. Disini kembali dituntut peran Guru yang amat besar untuk mampu melaksanakan kurikulum ini, bukan sekedar Guru yang hanya mencari nafkah dari pekerjaannya akan tetapi seorang Guru yang mengerti betul dengan filosofi pembelajaran dan menguasai betul secara mental untuk memberikan pengajaran kepada anak didiknya sebagai seorang manusia.
Sesungguhnya sosialisasi KTSP ini sudah dilaksanakan oleh Departemen Pendidikan Nasional melalui Ditjen PMPTK dengan berbagai cara dan kesempatan. Salah satu caranya adalah dengan mengembangkan CD yang berisikan KTSP, Widya Iswara pada LPMP dan P4TK seringkali melakukan kunjungan ke daerah untuk mensosialisasikannya, menggunakan metode Master TOT, melalui asosiasi Guru yang ada dan lain sebagainya. Dan sebenarnya sudah cukup dirasakan oleh Guru-guru yang ada di seluruh Indonesia, minimal mereka mengetahuinya.
Dan salah satu upaya yang sekarng ini amat dinantikan adalah peran serta masyarakat melalui LSM-LSM untuk dapat mensosialisasikannya, tidak hanya bisa mengkritisi akan tetapi tidak memberikan solusi yang terbaik bagi anak bangsa ini.
Yang perlu menjadi catatan dengan KTSP ini adalah bukan hanya kepada sosialisasi akan tetapi kemampuan Guru untuk dapat mengembangkan kurikulum ini, karena kurikulum ini betul-betul membuthkan Guru yang capable dan mampu melakukan analisis-analisis untuk menghasilkan kurikulum terbaik bagi siswanya.
Peran Guru
Bila dilihat dari data guru kemungkinan profesi yang terbanyak dibanding profesi lain. Tercatat tak kurang dari 2.783.321 guru, dengan perincian 1.528.472 adalah pegawai negeri sipil (PNS) dan sisanya, 1.254. 849 guru swasta. Sayangnya, guru hanya unggul jumlah, sementara dari sisi kualitas baik dari kompetensi dan kualifikasi, masih menyisakan pekerjaan rumah besar. Dari sisi kualifikasi ternyata hanya sebagian saja yang lulus S1, belum lagi banyaknya Guru yang mengajar missmatch, kesemua ini tentunya hanya akan membuat anak didik di Indonesia akan menjadi semakin mundur.
Hal yang sering terlupakan adalah bahwa dalam pembelajaran itu sarana dan prasarana bukan merupakan sebuah factor yang paling penting, akan tetapi yang paling penting itu selain kualitas dan kompetensi adalah Mental Guru. Dahulu Guru begitu dihormati oleh masayarakat, mereka dianggap sebagai tokoh dalam komunitasnya. Namun kini semuanya semakin sirna karena berbagai tingkah laku Guru yang membuat muridnya menjadi tertawa. Seperti pepatah mengatakan ‘Guru Kencing Berdiri Murid Kencing Berlari’.
Bila seorang Guru mempunyai kemampuan dan mengerti metoda pendidikan ia akan dapat memberikan sebuah pengajaran yang luar biasa. Sebuah film yang diangkat dari Novel spektakuler ‘Lasyar Pelangi” telah mencoba menunjukkan hal tersebut. Bahwa mengajarkan seseorang itu tidak perlu terikat dengan kurikulum atau lengkapnya sarana dan prasarana, namun bagaimana mengajar seorang anak didik itu dari hati, bagaimana mengajar seorang anak didik itu sesuai dengan bakatnya dan melihatnya sebagai sebuah kepribadian yang unik yang diciptakan oleh Allah SWT.
Sebagai contoh, ketika zaman dahulu kita menulis dengan batu tulis, dimana ketika itu setelah ditulis kita harus langsung menghapusnya. Sedangkan sekarang ini begitu murah buku dan alat tulis untuk dibeli namun tetap saja mutu pendidikan kita tidak menjadi lebih baik.
Guru kita sekarang tidak mampu memberikan inspirasi kepada anak didiknya. Sehingga saat ini lulusan dari Perguruan Tinggi ternyata lebih banyak menjadi ‘Penyemir Sepatu’ dari lulusan SD yang mempunyai keberanian untuk terjun dalam dunia kewirausahaan. Lulusan PT tidak mempunyai keberanian untuk menantang untung dan rugi, menantang hidup yang tidak tetap, menantang hidup yang tidak pasti, walau ternyat dengan ketekunan dunia itu tidak pernah membuat orangnya kelaparan dengan sebenar-benarnya.
UU Guru dan Dosen telah jadi, seorang Guru disinyalir akan mendapatkan pendapatan yang cukup untuk hidupnya. Namun untuk mendapatkannya seorang Guru diharuskan mengikut uji sertifikasi dan fortopolio, lagi-lagi yang terjadi sungguh membuat mengerti kenapa pendidikan kita tidak maju. Guru mulai bermain-main dengan fortopolio, mulai membajak hasil diklat dan seminar temannya, mulai mencari ijazah palsu. Inilah mental kebanyakan Guru kita sekarang ini.
Bukannya kurikulum atau sarana dan prasarana itu tidak penting, namun itu semua menjadi tidak berguna apabila Guru kita mentalnya masih belum berubah, tidak mempunyai jiwa seorang pendidikan akan tetapi lebih kepada jiwa pedagang atau bahkan menjadi seorang birokrasi. Seperti halnya dengan KKN, selama mental para Birokrasi tida berubah sebesar apapun gaji yang diberikan tidak akan pernah cukup, KKN itu akan terus terjadi.
Hal ini mungkin terjadi karena dampak dari zaman sentralisasi di orde baru yang menyebabkan selama puluhan tahun Guru hanya dituntut untuk melaksanakan kurikulum yang telah dikeluarkan sesuai dengan kebijakan dan keinginan Pusat, sehingga menghilangkan jiwa kritis dari Guru tersebut. Bila seorang Guru seperti itu tentu dapat terbayangkan bagaimana muridnya, yang akhir lebih pintar untuk menghapal bukan melakukan inovasi-inovasi pemikiran.
Ini pulalah yang menyebabkan Depdiknas tetap bersikeras untuk tetap melaksanakan UAN/UN, untuk memberikan sebuah pancingan atau stimulant terhadap pendidikan di Indonesia, sekaligus menjaga mutu dari mutu pendidikan kita, menggerakan jiwa sebagai pendidik dari Guru, menggugah masyarakat untuk berperan serta dalam pendidikan, menggugah Pemerintah Daerah untuk memperhatikan pendidikan didaerah dan lain sebagainya. Bahkan untuk menjaganya Pemerintah juga kerap berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan Guru, memenuhi standar pendidikan pada satuan pendidikan, membantu dengan BOS, menetapkan Standar-standar Pendidikan, mengeluarkan UU yang pro kepada Pendidik dan Tenaga Kependidikan, dsb…dsb.

KKN Raja-Raja Kecil
Untuk saat ini permasalahan KKN ternyata sudah menyebar kepada tingkat Provinsi maupun tingkat Kabupaten/Kota, bahkan seringkali dikatakan bahwa melakukan korupsi dengan berjamaah.
Untuk Pemerintah Pusat saat ini melakukan KKN merupakan hal yang teramat sulit, karena sudah banyak institusi pemerintah seperti KPK, Itjen dan BPK yang mengawasi. Selain itu LSM-LSM juga selalu dibelakang gerak-gerik Pemerintah untuk mengawasasi setiap kegiatan yang dilaksanakan, demikian juga pada Depdiknas.
Sedangkan di Kabupaten/Kota terlebih lagi di daerah yang terpencil pengawasan ini dirasakan masih amat kurang, sehingga Guru atau Kepala Sekolah menjadi gelap mata dan melakukan kecurangan-kecurangan untuk mendapatkan hasil UN yang di mark up atau tuntutan dari Pejabatnya.
Bila ini dibahas, tentunya yang salah adalah kultur mereka, bukan kepada kurikulum yang diberikan. Ketika kita mengatakan ini adalah konsep yang baik bukan berarti karena ketidakmampuan kita kemudian kita memanipulasi konsep tersebut hanya untuk kepentingan kita. Ini adalah catatan penting.
Hal yang diharapkan dari Daerah adalah memberikan dukungan kepada kurikulum ini dengan ikut mempersiapkan alat-alat pendukung lainnya, karena ini merupakan kepentingan mereka sendiri, bagi putra-putra daerah mereka sendiri. Yang disesalkan adalah Pendidikan masih bukan barang yang penting di Daerah.

Kesimpulan
Pendidikan yang bermutu itu harus mempunyai sebuah control untuk dapat mengevaluasinya, sekaligus sebagai bahan evaluasi untuk pelaksanaan program di masa yang akan datang.
UN/UAN merupakan salah satu alat pengontrol yang mau tidak mau harus dilaksanakan guna dapat memberikan penilaian terhadap kemampuan dasar dari lulusannya secara umum. Walau ada beberapa kejadian yang bersifat kasusistik akibat UN ini, akan tetapi tidak bisa dijadikan patokan karena harus ada alat control yang jelas terhadap siswa.
Permasalahan pemenuhan sarana dan alat pendukung pendidikan terlebih dahulu sebelum UN/UAN merupakan alasan yang sah-sah saja, namun ini bukan menjadi permsalahan yang mendasar dalam dunia pendidikan. Karena untuk alat-alat pendukung yang berupa sarana dan prasarana atau alat dukung lainnya dapat dipenuhi bila antara Pusat dan Daerah melakukan sinergi untuk memenuhinya. Selama ini Pemerintah daerah terkesan kurang memenuhi anggaran 20% untuk pendidikan serta belum adanya sinergi dengan Pusat dalam program pendidikannya.
Yang terpenting bila dikatakan untuk mendukung pendidikan memang dibutuhkan sarana dan alat pendukung adalah betul, namun hal itu bukanlah yang utama, karena hal yang paling utama adalah Guru dan Mental Bangsa ini. Guru sebagai orang yang bisa digugu harus mempunyai nilai-nilai idealis dan holistic dalam pekerjaannya, tidak terjebak kepada praktek-praktek yang merendahkan profesi terhormat Guru tersebut. Peningkatan kompetensi dan kualifikasi Guru adalah hal yang sudah tidak bisa ditunda-tunda lagi. Pengetatan profesi Guru juga harus dilakukan guna menjaga kewibawaan seorang Guru, tidak ada lagi Guru yang diangkat dengan sembarangan, tidak ada lagi Guru yang tidak bisa diukur kompetensinya dan bahkan diperlukan sebuah sertifikasi yang mempunyai batas waktu untuk kemudian diuji kembali.
Begitu juga dengan mental bangsa ini, ketika UN menjadi momok bagi mereka, mereka berusaha mengakalinya dengan berbagai cara sehingga menghilangkan nilai-nilai holistic dalam pendidikan. Pengawasan yang dilakukan tidak hanya oleh Pemerintah akan tetapi masyarakat sudah harus mulai ikut mengawasinya, karena yang menjadi korban adalah mereka atau anak mereka, serta belajar bagaimana menerima ketidakpuasan dari hasil UN/UAN untuk menjadi cambuk dimasa yang akan datang bagi anak-anak mereka kelak.

Selanjutnya dialog dengan Wak Ringga:

Ulasan anda:
Saya adalah salah seorang yang menolak Ujian Nasional (UN), karena UN dijadikan sebagai penentu kelulusan siswa. Karena alangkah tidak adil dan sangat tidak masuk akal menentukan kelulusan siswa yang telah menempuh pendidikan selama 3 tahun (SMP dan SMA) dan 6 tahun (SD) hanya dari ujian yang dilakukan selama 3 hari saja! Sementara proses belajarnya sendiri diabaikan! Padahal mutu pendidikan tidak bisa dinilai hanya dari hasil UN, atau dengan menaikkan standar kelulusan setiap tahunnya. Bukan itu bung, kalau pemerintah mau fair, nilailah pendidikan itu mulai dari proses awal hingga akhir, selama siswa mengikuti KBM (kegiatan belajar mengajar) hingga Ujian Akhirnya!

Jawaban saya:
Ini merupakan sebuah dilemma, ketika dikatakan bahwa mutu pendidikan tidak bisa dilihat dari nilai UN, lantas apa factor controlnya ? Bila selama 3 tahun mereka melakukan pembelajran akan tetapi tidak berhasil menjawab soal-soal dasar, apakah mereka layak diluluskan ? Dalam pembelajaran tetap harus ada kontrolnya.
Saya juga hanya bisa katakana kepada anda bagaimana tidak adilnya sekarang ini setelah kuliah selama 5 tahun, ternyata kemudian diharuskan mempunyai sebuah sertifikasi untuk bekerja, ironisnya sertifikasi tersebut kemudian harus diulang kembali pada masa tertentu. Bila pemikiran anda ini diteruskan maka tentunya anda akan berkata bahwa tidak ada gunanya bersekolah selama 5 tahun teryata untuk mendapatkan sebuah pekerjaan harus bisa lulus sertifikasi berupa selembar kertas.
Namun, ada juga yang bersifat kasuistik ketika pemenang Olimpiade Matetmatika ternyata tidak lulus UAN karena ia memang tidak menyukai salah satu dari pelajaran yang di UANkan, walau demikian ia berhasil masuk ke ITB untuk melanjutkan sekolahnya. Tapi ingat ini adalah kasus kasuistik.
Kemudian dalam berbagai diskusi kemudian mencoba mengambil jalan tengah dengan mengatakan bahwa UAN hanya bisa dijadikan alat control saja akan tetapi tidak berperan dalam nilai kelulusan seorang siswa, jika ini terjadi lantas apa gunakan UAN sebagai alat control karena sudah barang tentu siswa kita akan semakin malas tidak ada sebuah punishment dalam pengontrolannya atau sepertinya hanya ecek-ecek saja.

Ulasan anda:
Sdr Kosasih mengatakan bahwa “….Perlu diingat bagi Pemerintah UN ini sebenarnya adalah upaya untuk megetahui kemampuan dasar dari peserta didik bukan sebagai factor satu-satunya yang menjadikan kelulusan dari siswa. Anda sebagai orang DIKNAS sangat salah membuat pernyataan seperti ini, bertolak belakang dengan kebijakan DIKNAS tentang UN. Karena kenyataannya, Diknas tutup kuping terhadap keberatan yang diajukan oleh DPR, LSM dan masyarakat tentang UN. Bahkan siswa SD sekalipun tahu bahwa UN adalah penentu satu-satunya kelulusan!

Jawaban saya:
Saya mengatakan bahwa UN bukan satu-satunya penentu nilai ujian karena nilai kegiatan belajar mengajar siswa tetap diperhitungkan. Namun memang benar bahwa untuk lulus harus memenuhi nilai kelulusan dari UN terlebih dahulu.
Ulasan anda:
Itulah sebabnya DR. Arif Rahman, sang pakar pendidikan, pun menolak keras UN karena menilai, pemerintah melalui UN telah merampok hak guru untuk menentukan lulus/tidaknya siswa. Karena gurulah yang paling mengetahui apakah siswa2nya layak untuk diluluskan atau tidak.
Sementara itu, KTSP memberikan keleluasaan kepada sekolah untuk menyusun suatu konsep KBM, model kurikulum yang disesuaikan dengan ciri khas daerah masing2. Sangat bagus memang idenya. Sejak penerapan KBK dilanjutkan oleh KTSP, penilaian terhadap siswa mulai dilakukan dengan lebih “manusiawi”. Siswa dinilai meliputi kecakapan kognitif, kecakapan apektif dan psikomotor. Ketiga2nya merupakan satu kesatuan penilaian yang saling menunjang dan menelengkapi. Misalnya, siswa yang kurang menonjol kemampuan kognitifnya tapi rajin, menunjukkan keseriusan dalam mengikuti pelajaran dan berbudi pekerti baik akan mendapatkan nilai yang baik pada kemampuan apektif dan psikomotornya, begitu seterusnya. Jadi kemampuan siswa tidak hanya dilihat dan dinilai dari satu sisi saja, tapi seutuhnya.
Nah, penilaian atau evaluasi ini tentu saja sudah selayaknya dilakukan oleh pihak sekolah, dalam hal ini guru, mulai dari ujian blok, hingga ujian akhir, dari tahap awal hingga tahap akhir dengan tetap mengacu kepada aturan yang telah diberikan oleh pemerintah dan KTSP yang telah disusun. Guru tentu saja akan memberi nilai dari segala aspek akan kemampuan siswanya. Gurulah yang selama 3 atau 6 tahun berinteraksi langsung dengan siswanya. Sekolah pun sekaligus melakukan evaluasi diri terhadap model kurikulum yang diterapkan.

Jawaban saya:
Ini sebenarnya sudah terjadi pada Ujian Sekolah pada tahun1970 – 1982, namun itu semua tidak sesuai dengan harapan karena kemudian seorang Guru bertindak dengan seenaknya asalkan murid mereka lulus. Bung Wak Ringga hal yang perlu diingat bahwa Guru itu manusia juga, terlebih lagi Guru sekarang yang kurang mempunyai jiwa pendidikan yang diharapkan. Tetap harus ada sebuah control untuk kelulusan seorang siswa, Bung. Ada yang menarik disini bila yang melakukan sebuah pekerjaan juga sebagai pengontrol atau evaluator tentunya yang terjadi adalah sebuah bentuk dari kedzoliman. Ketika saya seorang Pemerintahan yang melakukan kegiatan Pemerintahan, maka bukan saya yang menilainya atau mengontrolnya ada sebuah badan Legislatif atau Badan Hukum, hingga tidak terjadi yang seringkali dinamakan orang dengan ‘Jeruk makan Jeruk’.

Ulasan anda:
Lalu bagaimana penilaian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap siswa kita melalui UN? Apakah bisa menilai segala aspek kemampuan siswa? Jawabannya adalah TIDAK! Hanya kemampuan kognitifnya saja yang dihargai dan diberi nilai!

Jawaban saya:
Dalam pemikiran Pemerintah saat ini adalah bagaimana memberikan pengontrolan kepada lulusannya sesuai dengan standar yang paling dasar dari siswa-siswanya.

Ulasan anda:
Pertanyaan berikutnya, adilkah UN bagi siswa2 yang kebetulan kemampuan kognitifnya lemah tapi rajin dan berakhlak bagus dan kebetulan pula tidak lulus UN? Bukankah pemerintah melalui Diknas telah bertindak arogan merampok hak2 sekolah/guru yang akan memberikan penilaian yang layak dan adil bagi peserta didiknya! Padahal tujuan pendidikan adalah membentuk siswa yang berkepribadian yang luhur?

Jawaban saya:
Untuk yang satu ini saya agak kesulitan dalam menjawabnya, ada beberapa hal penting yang harus kita ketahui. Ada perbedaan selama ini dalam menanggapi persoalan ini mengenai siswa yang berbudi luhur tanggung jawab siapa, kemudian bila dia bodoh lantas dia berakhlak mulia apakah dia layak untuk tidak diluluskan.
Kembali saya teringat denagn cerita Lasykar Pelangi, dimana ada seorang anak yang secara kognitif lemah, pernah menjadi bahan tertawaan orang lain karena pada EBTANAS dia mengisi jawaban pada soalnya dengan menggambar seekor anjing. Perlu diingat dia adalah sosok yang baik walaupun mempunyai kecerdasan yang amat kurang. Nah, untuk mensiasatinya Ibu Gurunya memberikan rapor khusus serta ujian khusus.
Maksud saya menceritakan ini adalah kemungkinan perlu dipikirkan untuk dapat memilah-milah siswa yang mempunyai tingkat kecerdasan rendah untuk nilai rapornya, atau jika memang perlu dilokalkan sendiri. Walau ini juga nantinya akan dikatakan sebuah ketidakadilan terhadap siswa yang berbudi luhur tapi dengan kemampuan yang rendah.
Sehingga kita bisa berpikir jernih mana yang bersifat kasuistik atau mana yang memang harus distandarkan secara nasional. Ini penting sehingga mutu pendidikan kita dapat ditingkatkan dengan lebih baik lagi ke depannya.

Ulasan anda:
Satu hal lagi, UN sudah dipolitisasi. Pertaruhan jabatan. Sederhananya begini, Kakanwin Dinas Pendidikan se Indonesia dikumpulkan oleh Mendiknas, diberi pengarahan bahwa UN harus SUKSES. Setelah pulang ke daerah masing2 Kakanwil memanggil semua Ka Dinas Pendidikan Kota/Kab, menyampaikan pesan Mendiknas, UN harus SUKSES. Ka Dinas Pendidikan Kota/Kab memanggil semua Kepsek yang ada di wilayahnya masing2 untuk menyampaikan pesan mendiknas, UN harus SUKSES. Tentu saja semuanya ada “penekanan” dengan kata SUKSES. Harus lulus 100%, kalau perlu!
Saya sendiri pernah mengalami, pernah mengikuti rapat dinas dengan Kasi Kurikulum dan Kasi Dikmenum Kota Bogor untuk membahas “strategi” menghadapi UN dan pesan yang disampaikan mulai dari Kanwil Dinas Pendidikan Jabar hinga Dinas Pendidikan Kota, agar “UN KUDU DISUKSESKEN, LAMUN BISA MAH LULUS 100%, SOK WAE ATUH BAPAK IBU DIATUR KUMAHA BAGEUR NA...". Hebat! Apakah ini hanya terjadi di Bogor saja? Tentu saja tidak! Itulah sebabnya akhirnya terjadi kecurangan pelaksanaan UN. Jabatatan coy, jadi taruhannya.

Jawaban saya:
Ketika anda mengatakan ini sekaligus anda memberitahukan kebobrokan mental dari tempat instansi anda bekerja. Seseorang yang mempunyai jiwa pendidik tidak akan pernah melakukan hal bodoh ini sesulit apapun permasalahan yang dihadapinya. Inilah yang saya katakana dengan mental dari pendidik dan pejabat kita, tidak mau mengakui adanya kelemahan pada dirinya. Tidak mau mengakui atau belajar bagaimana menghadapinya dengan benar.

Ulasan anda:
Sepertinya Pemerintah kita sangat hobi menggelontorkan berbagai macam kebijakan yang katanya untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Tapi kenyataannya hanyalah membuat kerepotan para pelaksana di lapangan karena minimya pendampingan oleh Diknas dan jajarannya. Beban guru ditambah tapi kesejahteraan, sarana untuk menambah wawasan dan pengetahuan guru, terutama untuk menunjang semua kebijakan yang ditetapkan pemerintah, sangat minim.

Jawaban saya:
Begitu juga dengan kompetensi Guru yang amat minim perlu dipikirkan, ini bisa dilihat dari kemampuannya menulis yang rendah hingga mereka kebanyakan terhenti dari golingan IV/a ke IV/b, karena membutuhkan karya tulis menuju kesana. Begitu juga dengan mental Guru yang begitu rendah, adanya sertifikasi Guru melalui fortopolio dan uji kompetensi hanya membuat mereka berlomba-lomba mencari ijazah palsu, sertifikat palsu, dsb. Atau ketika kita mendengar Guru Bantu berteriak-teriak agar diangkat tanpa mau intropeksi diri kemampuan di asebagai seoragn Guru.
Melihat ini semua, ini yang saya katakana agar peran serta masyarakat harus lebih aktif lagi, karena kita menyerahkan anak-anak kita kepada Guru-guru tersebut.

Berijin.

Tidak ada komentar: