Kamis, 04 Desember 2008

Lasykar Pelangi

Sebuah adaptasi sinema dari novel fenomenal LASKAR PELANGI karya Andrea Hirata, yang mengambil setting di akhir tahun 70-an di Provinsi Bangka Belitung, tepatnya di Desa Ganton, Belitong dapat dikatakan sebuah film pendidikan yang mampu menggetarkan jiwa-jiwa mereka yang peduli dengan pendidikan bahwa ternyata masih banyak di daerah Indonesia yang begitu tertinggal untuk bidang pendidikan.

Film ini diawali dengan gambaran bagaimana hari pertama pembukaan kelas baru di sekolah SD Muhammadyah menjadi sangat menegangkan bagi dua guru luar biasa, Muslimah (Cut Mini) dan Pak Harfan (Ikranagara), serta 9 orang murid yang menunggu di sekolah yang terletak di desa Gantong, Belitong untuk mencapai 10 murid yang terdaftar, yang apabila tidak dicapai jumlah ini maka sekolah akan ditutup. Uniknya lagi pelengkap dari ke 10 murid adalah seorang anak yang mohon maaf retardesimental, keterbelakangan mental. Hari itu, Harun, seorang murid istimewa menyelamatkan mereka. Ke 10 murid yang kemudian diberi nama Laskar Pelangi oleh Bu Muslimah, menjalin kisah yang tak terlupakan.
Dalam cerita tersebut dikisahkan bahwa selama 5 tahun bersama, Bu Mus, Pak Harfan dan ke 10 murid dengan keunikan dan keistimewaannya masing masing, berjuang untuk terus bisa sekolah. Di antara berbagai tantangan berat dan tekanan untuk menyerah, Ikal (Zulfani), Lintang (Ferdian) dan Mahar (Veris Yamarno) dengan bakat dan kecerdasannya muncul sebagai pendorong semangat sekolah mereka. Salah satunya adalah mereka berhasil menjuarai Cerdas Cermat dan Lomba Kreatifitas Seni di daerah tersebut dengan segala keterbatasan mereka.

Yang menarik dalam film ini adalah ketika Lintang harus berhenti beberapa saat ketika ia ingin pergi ke sekolah menunggu lewatnya seekor buaya pada jalan yang dilaluinya. Ini semakin terlihat ketika Lintang harus menghadiri perlombaan cerdas cermat mewakili sekolahnya ia hampir saja terlambat karena ternyata buayanya berjemur dijalan tersebut sampat akhirnya datang seorang pawang yang mengusir buaya tersebut dari jalan. Karakteristik seorang Lintang ini semakin mengental ketika ia harus berhenti sekolah karena ayahnya mati, sebagai seorang yatim piatu ia harus bertanggung jawab kepada ketiga adik-adiknya. Disini terlihat bagaimana seorang anak manusia lebih memilih berkorban untuk kepetingan keluarganya karena situasi yang memang membuatnya harus memilih. Padahal saat itu Lintang sudah menjadi orang terpilih dengan kecerdasannya pada pelajaran matematika, yang sudah tersosialisasi pada acara cerdas cermat yang dimenangkan Sekolah Muhammadiyah.
Selain itu, yang menarik lagi dalam film ini adalah bagaimana seorang Ikal dengan bermodalkan mimpi dan inspirasi dari sahabatnya Lintang serta wanita keturunan tionghoa idamannya ia bisa belajar ditempat yang ia impikan untuk dapat mengunjunginya, Paris, bahkan bisa mengelilingi Eropa. Ikal adalah seorang karakteristik orang yang ketika ia sudah menginginkan sesuatu atau memimpikan sesuatu ia akan merupaya mengejarnya dengan seluruh daya upayanya. Ini bisa terlihat ketika ia jatuh cinta dengan seorang wanita keturunan Tionghoa ia begitu berupaya mengejarnya dengan segala upaya, bahkan dalam film ini dikisahkan sedikit kisah romantika mereka begitu segar, hangat dan menyentuh.

Disini juga digambarkan Guru-guru yang begitu mencintai anak-anak didik mereka, bagaimana mereka mengajarkan mereka berdasarkan hati mereka, keyakinan mereka, dan karena panggilan jiwa mereka walau mereka tidak mendapatkan materi yang banyak atau bagi mereka materi bukanlah segala-segalanya. Hal-hal inisesungguhnya yang saat ini terlupakan oleh Guru-guru sekarang, bahwa anak didik itu bukan sebuah barang akan tetapi sebuah jiwa yang harus di didik dengan segenap jiwa juga, bukan hanya sekedar kurikulum atau teori pembelajaran lainnya yang tidak menggunakan sebuah konsep mengerti tentang keunikan dari masing-masing individu seorang manusia. Saat ini, terlihat berbondong-bondongnya seorang Guru untuk mendapatkan sertifikasi bukan karena mereka menginginkan sebuah kompetensi atau kehalian akan tetapi lebih karena tertarik dengan tunjangan-tunjangan yang akan mereka dapatkan sehingga diantara guru ada yang melakukan berbagai cara tanpa mempedulikan salah dan benar.
Dalam film ini mengingatkan kita kembali bagaimana kondisi dunia pendidikan kita yang saat ini belum betul-betul sempurna, begitu banyak konsep yang dikeluarkan, begitu banyak program yang dilaksanakan, tapi tampaknya belum mencapai tujuan yang diharapkan. Sebagai contoh ketika BOS diluncurkan diharapkan akan dapat memberikan pendidikan gratis, namun yang terjadi adalah masih banyak bayaran-bayaran yang dimintakan kepada anak didik dengan berbagai alasan dan cara. Ketika ada peraturan yang mengatakan bahwa setiap anak didik tidak diperkenankan membeli buku dari sekolah, namun kenyataannya masih banyak yang bermain antara pihak sekolah dan buku demi mendapatkan beberapa sen pembagian komisi. Atau ketika kita mengatakan bahwa banyak anak bangsa kita yang cerdas akan tetapi hanya sebagian kecil saja, walau kita bangga tapi kita kecewa dengan daya saing anak-anak kita yang pada umumnya rendah.Film ini dipenuhi kisah tentang kalangan pinggiran, dan kisah perjuangan hidup menggapai mimpi yang mengharukan, serta keindahan persahabatan yang menyelamatkan hidup manusia, dengan latar belakang sebuah pulau indah yang pernah menjadi salah satu pulau terkaya di Indonesia itu.

Dengan menonton film ini kita akan tersadar bahwa tidak semua orang mendapatkan kesempatan pendidikan yang bermutu, tidak menjadi jaminan bahwa pendidikan bermutu lengkap sarana dan prasarananya, guru-guru terkadang melupakan bahwa anak didik mereka adalah seorang jiwa bukan barang sehingga diperlukan pendekatan kejiwaan untuk mendidik mereka, kemiskinan adalah penyebab hilangya kesempatan orang-orang yang berpotensi untuk mendapatkan pendidikan yang baik, dan terakhir adalah bahwa Tuhan telah menciptakan akal yang sama pada manusia tanpa membeda-bedakan suku bangsanya, sudah seharusnya mendapatkan kesempatan yang sama dalam mendapatkan pendidikan yang bermutu.

Tidak ada komentar: